Jumat, 03 September 2010

Perawatan Saluran Akar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perawatan saluran akar adalah perawatan yang dilakukan dengan mengangkat jaringan pulpa yang telah terinfeksi dari kamar pulpa dan saluran akar, kemudian diisi padat oleh bahan pengisi saluran akar agar tidak terjadi kelainan lebih lanjut atau infeksi ulang. Tujuannya adalah untuk mempertahankan gigi selama mungkin di dalam rahang, sehingga fungsi dan bentuk lengkung gigi tetap baik.
Perawatan saluran akar membutuhkan ketelatenan sehingga seringkali membutuhkan lebih dari 1 kunjungan, bervariasi tergantung kasusnya.
Tahapan PSA adalah sebagai berikut:
- Tahap 1
Mahkota gigi di-bur untuk mendapatkan jalan masuk ke kamar pulpa. Semua tambalan dan jaringan rusak pada gigi (karies) dibuang.
- Tahap 2
Pulpa dikeluarkan dari kamar pulpa dan saluran akar. Suatu instrumen kecil yang disebut “file” digunakan untuk membersihkan saluran akar. Gigi ditutup dengan tambalan sementara untuk melindungi kamar pulpa dan saluran akar agar tetap bersih. Tambalan sementara akan dibongkar pada kunjungan selanjutnya.
- Tahap 3
Saluran akar diisi dan dibuat kedap dengan suatu bahan yang mencegah bakteri masuk. Kamar pulpa sampai dengan permukaan mahkota gigi ditutup dengan tambalan sementara.
- Tahap 4
Tambalan sementara dibongkar dan diganti dengan tambalan tetap atau dibuatkan “crown” (sarung gigi).
- Tahap 5
Saluran akar, tambalan tetap, atau “crown” dievaluasi untuk melihat ada / tidaknya masalah. Setelah PSA selesai, gigi akan disuplai nutrisinya oleh tulang dan gusi di sekitarnya.
Dalam masa Perawatan Saluran Akar (PSA) gigi, adakalanya gigi mengalami rasa sakit, bisa karena saraf pulpa belum seluruhnya mati, bisa juga karena pembersihan yang belum selesai. Bila gigi mempunyai akar yang bengkok, maka tingkat kesulitan pembersihan saluran akar lebih tinggi daripada saluran akar yang normal lurus. Belum lagi bila saluran akar utama mempunyai cabang-cabang. Oleh karena itu PSA kadang bisa gagal karena faktor-faktor di atas.
Pulpa dalam gigi sewaktu-waktu dapat terkena infeksi atau radang. Pemicu hal ini antara lain lubang yang sudah dalam, proses lubang yang berlanjut di bawah tambalan, kebiasaan mengerot-ngerot saat tidur (bruxisme), perokok (menurut penelitian lebih sering menderita masalah pada gigi yang membutuhkan penanganan berupa PSA), peradangan gusi parah, tindakan penambalan yang berulang-ulang pada gigi, “crack” atau keretakan pada gigi, serta trauma (misalnya gigi terbentur karena kecelakaan).
Walaupun secara visual tidak terdapat kerusakan (misalkan pada “crack” yang halus), namun hal-hal di atas dapat menghancurkan lapisan pelindung pulpa sehingga bakteri dapat masuk. Bakteri kemudian dapat keluar dari ujung akar dan menimbulkan infeksi pada tulang dan gusi di sekitar akar gigi. Bila pulpa yang telah terinfeksi tidak diobati maka dapat menimbulkan sakit dan akan terbentuk nanah.
PSA dibutuhkan karena dapat membuang pulpa dan bakteri yang menyebabkan infeksi, sehingga tulang di sekitar gigi dapat sehat kembali dan sakit gigi pun hilang. Gejala-gejala gigi yang membutuhkan perawatan yaitu: sakit sepanjang waktu, selalu sensitif terhadap panas atau dingin, sakit saat mengunyah atau bila disentuh, gigi goyang, gusi bengkak, diskolorasi (perubahan warna) gigi, pipi bengkak dan adanya jerawat kecil berwarna putih di gusi yang mengeluarkan nanah. Bagaimana pun, terkadang ada juga kasus yang tidak terdapat gejala-gejala tersebut sama sekali.
Bila satu atau lebih gejala tersebut terjadi pada anda, bisa jadi anda membutuhkan perawatan saluran akar. Pencabutan belum tentu menyelesaikan masalah. Bila gigi yang sakit dicabut, gigi-gigi di sebelahnya akan bergeser sehingga mengganggu gigitan dan pengunyahan. Gigi yang hilang bisa saja diganti dengan gigi palsu, tapi rasanya tidak akan bisa senyaman gigi asli, khususnya saat dipakai menggigit dan mengunyah makanan.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah semua pembuatan mahkota dan jembatan harus dilakukan pulpektomi?
2. Apa saja macam-macam perawatan endodontik beserta indikasi dan kontraindikasinya?
3. Apa saja prosedur perawatan endodontik konvensional?
4. Apa saja teknik dari perawatan saluran akar?
5. Apa saja faktor yang menyebabkan kegagalan dari perawatan saluran akar?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah semua pembuatan mahkota dan jembatan harus dilakukan pulpektomi.
2. Untuk mengetahui macam-macam perawatan endodontik beserta indikasi dan kontraindikasinya.
3. Untuk mengetahui prosedur perawatan endodontik konvensional.
4. Untuk mengetahui teknik dari perawatan saluran akar.
5. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan kegagalan dari perawatan saluran akar.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada perawatan saluran akar, setelah jaringan pulpa di keluarkan akan terdapat luka yang kemudian dibersihkan dan didesinfeksi dengan instrumentasi dan irigasi. Luka ini tidak akan tertutup epitelium, seperti luka pada bagian tubuh lain karena itu mudah terkena infeksi ulang. Untuk mencegah penetrasi mikroorganisme dan toksin dari luar melalui ruang pulpa ke tubuh, ruang ini harus ditutup dibagian koronal dan apikal, hal ini untuk mencegah infeksi dan juga untuk memblokir lubang masuk ke periapikal bagi organisme. Selain itu untuk mencegah infeksi ulang dari ruang pulpa oleh mikroorganisme dari rongga mulut. Seluruh ruang pulpa harus diisi, jadi memblokir tubula dentin dan saluran asesori (Harty, 1992).
Perawatan saluran akar merupakan salah satu jenis perawatan yang bertujuan mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi. Tahap perawatan saluran akar antara lain : preparasi saluran akar yang meliputi pembersihan dan pembentukan (biomekanis), disinfeksi, dan pengisian saluran akar. Keberhasilan perawatan saluran ini dipengaruhi oleh preparasi dan pengisian saluran akar yang baik, terutama pada bagian sepertiga apikal. Tindakan preparasi yang kurang bersih akan mengalami kegagalan perawatan, bahkan kegagalan perawatan 60% diakibatkan pengisian yang kurang baik. Pengisian saluran akar dilakukan untuk mencegah masuknya mikro-organisme ke dalam saluran akar melalui koronal, mencegah multiplikasi mikroorganisme yang tertinggal, mencegah masuknya cairan jaringan ke dalam pulpa melalui foramen apikal karena dapat sebagai media bakteri, dan menciptakan lingkungan biologis yang sesuai untuk proses penyembuhan jaringan. Hasil pengisian saluran akar yang kurang baik tidak hanya disebabkan teknik preparasi dan teknik pengisian yang kurang baik, tetapi juga disebabkan oleh kualitas bahan pengisi saluran akar. Pasta saluran akar merupakan bahan pengisi yang digunakan untuk mengisi ruangan antara bahan pengisi (semi solid atau solid) dengan dinding saluran akar serta bagian-bagian yang sulit terisi atau tidak teratur (Walton & Torabinejad, 1996).
Setelah dilakukan pembersihan, perbaikan bentuk dan desinfeksi, saluran akar akan diisi. Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan sebelum dilakukan tindakan pengisian saluran akar yaitu gigi bebas dari rasa sakit, saluran akar bersih dan kering, tidak terdapat nanah, tidak terdapat bau busuk (Tarigan, 1994).
Sebelum pengisian saluran akar, dilakukan preparasi saluran akar. Preparasi saluran akar biomekanikal dalam perawatan endodonti bertujuan untuk membersihkan dan membentuk saluran dalam mempersiapkan pengisian yang hermetis dengan bahan dan teknik pengisian yang sesuai. Bila preparasi saluran akar tidak dilakukan, maka perawatan endodontik akan gagal. Oleh karena itu, preparasi saluran akar biomekanikal harus dilakukan sebaik mungkin, sesuai dengan bentuk saluran akar (Harty, 1992).
Dengan adanya bentuk gigi yang berbeda, anatomi rongga pulpa dari setiap gigi juga tidak sama, sehingga teknik preparasi saluran akar pada gigi yang satu akan berbeda dengan gigi yang lain. Jadi dalam melakukan preparasi saluran akar pada gigi yang mempunyai bentuk anatomi saluran yang berbeda, diperlukan beberapa teknik preparasi saluran akar yang sesuai yaitu : teknik preparasi konvensional, telescope, flaring, step-back (Tarigan, 1994; Rodneey, dkk, 1994).
Saluran akar harus dikeringkan setelah irigasi yang terakhir, terutama sebelum pengisian saluran akar. Cairan dapat diaspirasi dengan meletakkan ujung spuit pada dinding saluran akar. pengeringan menyeluruh dapat dilakukan dengan menggunakan paper point yang tediri dari berbagai macam ukuran. Secara klinis perlu disadari bahwa paper point bekerja seperti kertas penyerap dan harus diberi waktu dalam saluran akar agar dapat bekerja efektif. Paper point dapat dipegang dengan pinset dan diukur sesuai dengan panjang kerja sehingga ujungnya tidak terdorong secara tidak sengaja melalui foramen apikal. Paper point dimasukkan secara perlahan sehingga mengurangi terdorongnya cairan irigasi ke dalam jaringan apikal. Kecelakaan seperti ini dapat menyebabkan pasien merasa sakit pada terapi endodontik (Harty, 1992).
Saluran akar segera diisi setelah pengeringan. Pada kasus pulpektomi vital, pengisian saluran segera dilakukan setelah preparasi dan pembersihan, hal ini dapat mengurangi resiko kontaminasi saluran akar, waktu yang diperlukan untuk perawatan dan menghasilkan tingkat keberhasilan yang tinggi (Harty, 1992).
Ada berbagai macam teknik pengisian saluran akar, yang dapat dibagi menjadi teknik sementasi cone, teknik guttapercha hangat, teknik preparasi dentin. Hasil penelitian belum dapat membuktikan keunggulan teknik tersebut walaupun memang ada beberapa teknik yang kemungkinan kebocorannya lebih besar dari yang lain (Harty, 1992).
Pada umumnya bahan pengisi saluran akar digolongkan dalam golongan padat, pasta, dan semen. Yang termasuk golongan padat ialah poin gutaperca, poin perak, poin titan, poin emas. Golongan pasta; bahan ini tidak mengeras dalam saluran akar misalnya jodoform pasta (Walkhoff). Golongan semen; bahan ini setelah beberapa waktu dalam saluran akar akan mengeras (Tarigan, 1994).
Pasta dan semen dapat dibagi dalam lima kelompok; berbahan dasar zinc okside eugenol, resin komposit, gutta perca, bahan adhesif dentin, bahan yang ditambah obat- obatan (Harty, 1992).
Tidak ada bahan pengisi saluran akar yang mempunyai sifat yang ideal. Tetapi paling tidak memenuhi beberapa kriteria yaitu mudah dimasukkan kedalam saluran akar, harus dapat menutup saluran lateral atau apikal, tidak boleh menyusut sesudah dimasukkan kedalam saluran akar gigi. Tidak dapat ditembus oleh air atau kelembaban, bakteriostatik, radiopague, tidak mewarnai struktur gigi, tidak mengiritasi jaringan apikal, steril atau dapat dengan mudah disterilkan, tidak larut dalam cairan jaringan, bukan penghantar panas, pada waktu dimasukkan harus dalam keadaan pekat atau semi solid dan sesudahnya menjadi keras (Tarigan, 1994; Walton & Torabinejad, 1996).
Seperti halnya seluruh perawatan gigi, penggabungan beberapa faktor mempengaruhi hasil suatu perawatan endodontik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan perawatan saluran akar adalah faktor patologi, factor penderita, faktor anatomi, faktor perawatan dan kecelakaan prosedur perawatan (Ingle, 1985; Cohen & Burn, 1994; Walton & Torabinejab, 1996).

1. Faktor Patologis
Keberadaan lesi di jaringan pulpa dan lesi di periapikal mempengaruhi tingkat keberhasilan perawatan saluran akar. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tidak mungkin menentukan secara klinis besarnya jaringan vital yang tersisa dalam saluran akar dan derajat keterlibatan jaringan peripikal. Faktor patologi yang dapat mempengaruhi hasil perawatan saluran akar adalah (Ingle, 1985; Walton & Torabinejad, 1996) :
1. Keadaan patologis jaringan pulpa.
Beberapa peneliti melaporkan tidak ada perbedaan yang berarti dalam keberhasilan atau kegagalan perawatan saluran akar yang melibatkan jaringan pulpa vital dengan pulpa nekrosis. Peneliti lain menemukan bahwa kasus dengan pulpa nekrosis memiliki prognosis yang lebih baik bila tidak terdapat lesi periapikal.
2. Keadaan patologis periapikal
Adanya granuloma atau kista di periapikal dapat mempengaruhi hasil perawatan saluran akar. Secara umum dipercaya bahwa kista apikalis menghasilkan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan lesi granulomatosa. Teori ini belum dapat dibuktikan karena secara radiografis belum dapat dibedakan dengan jelas ke dua lesi ini dan pemeriksaan histologi kista periapikal sulit dilakukan.
3. Keadaan periodontal
Kerusakan jaringan periodontal merupakan faktor yang dapat mempengaruhi prognosis perawatan saluran akar. Bila ada hubungan antara rongga mulut dengan daerah periapikal melalui suatu poket periodontal, akan mencegah terjadinya proses penyembuhan jaringan lunak di periapikal. Toksin yang dihasilkan oleh plak dentobakterial dapat menambah bertahannya reaksi inflamasi.
4. Resorpsi internal dan eksternal
Kesuksesan perawatan saluran akar bergantung pada kemampuan menghentikan perkembangan resorpsi. Resorpsi internal sebagian besar prognosisnya buruk karena sulit menentukan gambaran radiografis, apakah resorpsi internal telah menyebabkan perforasi. Bermacam-macam cara pengisian saluran akar yang teresorpsi agar mendapatkan pengisian yang hermetis.

2. Faktor Penderita
Faktor penderita yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu perawatan saluran akar adalah sebagai berikut (Ingle, 1985; Cohen & Burns, 1994; Walton &Torabinejad, 1996) :
1. Motivasi Penderita
Pasien yang merasa kurang penting memelihara kesehatan mulut dan melalaikannya, mempunyai risiko perawatan yang buruk. Ketidaksenangan yang mungkin timbul selama perawatan akan menyebabkan mereka memilih untuk diekstraksi (Sommer, 1961).
2. Usia Penderita
Usia penderita tidak merupakan faktor yang berarti bagi kemungkinan keberhasilan atau kegagalan perawatan saluran akar. Pasien yang lebih tua usianya mengalami penyembuhan yang sama cepatnya dengan pasien yang muda. Tetapi penting diketahui bahwa perawatan lebih sulit dilakukan pada orang tua karena giginya telah banyak mengalami kalsifikasi. Hali ini mengakibatkan prognosis yang buruk, tingkat perawatan bergantung pada kasusnya (Ingle, 1985).
3. Keadaan kesehatan umum
Pasien yang memiliki kesehatan umum buruk secara umum memiliki risiko yang buruk terhadap perawatan saluran akar, ketahanan terhadap infeksi di bawah normal. Oleh karena itu keadaan penyakit sistemik, misalnya penyakit jantung, diabetes atau hepatitis, dapat menjelaskan kegagalan perawatan saluran akar di luar kontrol ahli endodontis (Sommer, dkk, 1961; Cohen & Burns, 1994).

3. Faktor Perawatan
Faktor perawatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu perawatan saluran akar bergantung kepada :
1. Perbedaan operator
Dalam perawatan saluran akar dibutuhkan pengetahuan dan aplikasi ilmu biologi serta pelatihan, kecakapan dan kemampuan dalam manipulasi dan menggunakan instrumen-instrumen yang dirancang khusus. Prosedur-prosedur khusus dalam perawatan saluran akar digunakan untuk memperoleh keberhasilan perawatan. Menjadi kewajiban bagi dokter gigi untuk menganalisa pengetahuan serta kemampuan dalam merawat gigi secara benar dan efektif (Healey, 1960; Walton &Torabinejad, 1996).


2. Teknik-teknik perawatan
Banyak teknik instrumentasi dan pengisian saluran akar yang tersedia bagi dokter gigi, namun keuntungan klinis secara individual dari masing-masing ukuran keberhasilan secara umum belum dapat ditetapkan. Suatu penelitian menunjukan bahwa teknik yang menghasilkan penutupan apikal yang buruk, akan menghasilkan prognosis yang buruk pula (Walton & Torabinejad, 1996).
3. Perluasan preparasi atau pengisian saluran akar.
Belum ada penetapan panjang kerja dan tingkat pengisian saluran akar yang ideal dan pasti. Tingkat yang disarankan ialah 0,5 mm, 1 mm atau 1-2 mm lebih pendek dari akar radiografis dan disesuaikan dengan usia penderita. Tingkat keberhasilan yang rendah biasanya berhubungan dengan pengisian yang berlebih, mungkin disebabkan iritasi oleh bahan-bahan dan penutupan apikal yang buruk. Dengan tetap melakukan pengisian saluran akar yang lebih pendek dari apeks radiografis, akan mengurangi kemungkinan kerusakan jaringan periapikal yang lebih jauh (Walton & Torabinejad, 1996).

4. Faktor Anatomi Gigi
Faktor anatomi gigi dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu perawatan saluran akar dengan mempertimbangkan :
1. Bentuk saluran akar
Adanya pengbengkokan, penyumbatan,saluran akar yang sempit, atau bentuk abnormal lainnya akan berpengaruh terhadap derajat kesulitan perawatan saluran akar yang dilakukan yang memberi efek langsung terhadap prognosis (Walton & Torabinejad, 1996).
2. Kelompok gigi
Ada yang berpendapat bahwa perawatan saluran akar pada gigi tunggal mempunyai hasil yang lebih baik dari pada yang berakar jamak. Hal ini disebabkan karena ada hubungannya dengan interpretasi dan visualisasi daerah apikal pada gambaran radiografi. Tulang kortikal gigi-gigi anterior lebih tipis dibandingkan dengan gigi-gigi posterior sehingga lesi resorpsi pada apeks gigi anterior terlihat lebih jelas. Selain itu, superimposisi struktur radioopak daerah periapikal untuk gigi-gigi anterior terjadi lebih sedikit, sehingga interpretasi radiografinya mudah dilakukan. Radiografi standar lebih mudah didapat pada gigi anterior, sehingga perubahan periapikal lebih mudah diobservasi dibandingkan dengan gambaran radiologi gigi posterior (Walton & Torabinejad, 1989).
3. Saluran lateral atau saluran tambahan
Hubungan pulpa dengan ligamen periodontal tidak terbatas melalui bagian apikal saja, tetapi juga melalui saluran tambahan yang dapat ditemukan pada setiap permukaan akar. Sebagian besar ditemukan pada setengah apikal akar dan daerah percabangan akar gigi molar yang umumnya berjalan langsung dari saluran akar ke ligamen periodontal (Ingle, 1985).
Preparasi dan pengisian saluran akar tanpa memperhitungkan adanya saluran tambahan, sering menimbulkan rasa sakit yang hebat sesudah perawatan dan menjurus ke arah kegagalan perawatan akhir (Guttman, 1988).

5. Kecelakaan Prosedural
Kecelakaan pada perawatan saluran akar dapat memberi pengaruh pada hasil akhir perawatan saluran akar, misalnya :
1. Terbentuknya ledge (birai) atau perforasi lateral.
Birai adalah suatu daerah artifikasi yang tidak beraturan pada permukaan dinding saluran akar yang merintangi penempatan instrumen untuk mencapai ujung saluran (Guttman, et all, 1992). Birai terbentuk karena penggunaan instrumen yang terlalu besar, tidak sesuai dengan urutan; penempatan instrument yang kurang dari panjang kerja atau penggunaan instrumen yang lurus serta tidak fleksibel di dalam saluran akar yang bengkok (Grossman, 1988, Weine, 1996).
Birai dan ferforasi lateral dapat memberikan pengaruh yang merugikan pada prognosis selama kejadian ini menghalangi pembersihan, pembentukan dan pengisian saluran akar yang memadai (Walton & Torabinejad, 1966).

2. Instrumen patah
Patahnya instrumen yang terjadi pada waktu melakukan perawatan saluran akar akan mempengaruhi prognosis keberhasilan dan kegagalan perawatan. Prognosisnya bergantung pada seberapa banyak saluran sebelah apikal patahan yang masih belum dibersihkan dan belum diobturasi serta seberapa banyak patahannya. Prognosis yang baik jika patahan instrumen yang besar dan terjadi ditahap akhir preparasi serta mendekati panjang kerja. Prognosis yang lebih buruk jika saluran akar belum dibersihkan dan patahannya terjadi dekat apeks atau diluar foramen apikalis pada tahap awal preparasi (Grossman, 1988; Walton & Torabinejad, 1996).
4. Fraktur akar vertikal
Fraktur akar vertikal dapat disebabkan oleh kekuatan kondensasi aplikasi yang berlebihan pada waktu mengisi saluran akar atau pada waktu penempatan pasak. Adanya fraktur akar vertikal memiliki prognosis yang buruk terhadap hasil perawatan karena menyebabkan iritasi terhadap ligamen periodontal (Walton &Torabinejad, 1996).

BAGAN PERAWATAN SALURAN AKAR



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PEMBUATAN GIGI TIRUAN MAHKOTA DAN JEMBATAN
Bridge Fixed Prosthodontic (gigi tiruan jembatan), merupakan Gigi Tiruan Cekat untuk menggantikan kehilangan gigi asli dimana gigi asli yang hilang itu masih di dampingi 2 gigi yang masih ada di sebelahnya. Ke-2 gigi tetangga yang masih ada itu di jadikan abutment (penyangga) untuk pontik (gigi hilang yang akan kita gantikan). Ke-2 gigi tetangga itu akan di kecilkan ukurannya pada saat preparasi, dibuatkan mahkota jacket dan di buat perlekatannya pada ke-2 penyangga ini dengan di sementasi sehingga tidak dapat dilepas pasien.

Sedangkan untuk pembuatan mahkota, crown di jadikan indikasi karena menutupi seluruh permukaan gigi dengan direkatkan oleh bahan cement perekat ke sisa mahkota gigi asli, sehingga akan lebih awet dan tak mudah lepas. Perlekatannya dengan gigi umumnya baik, namun masih dapat dilepas oleh dokter gigi dengan alat khusus. Jadi, metode pembuatannya, sisa jaringan gigi asli si pasien di preparasi dengan mengecilkan ukuran gigi asli dahulu sehingga crown dapat di rekatkan secara permanen. Selama crown dibuat, pada pasien akan dibuatkan provisoris (mahkota sementara). Dan tentu saja, gigi tersebut masih dalam keadaan vital, dimana pulpa gigi belum terkena. Jika pulpa gigi terkena,maka konsep perawatan berubah menjadi perawatan saluran akar dan pembuatan mahkota pasak berinti.

Jadi pembuatan gigi tiruan jembatan dan mahkota tidak harus melalui pulpektomi. Pulpektomi dilakukan apabila pulpa gigi dari gigi yang akan dipreparasi terkena infeksi. Bila gigi dalam keadaan vital (pulpa belum terkena) maka pulpektomi tidak perlu dilakukan.

3.2 MACAM-MACAM PERAWATAN ENDODONTIK
3.2.1. ENDO KONVENSIONAL
1. PULP CAPPING
a. DIREK
b. INDIREK
2. PULPOTOMI
3. PERAWATAN S.A
a. PULPEKTOMI
b. ENDOINTRAKANAL
4. APEKSIFIKASI

3.2.2. ENDO BEDAH
1. KURETASE APEKS
2. RESEKSI APEKS
3. INTENTIONAL REPLANT
4. HEMISEKSI
5. IMPLAN ENDODONTIK

3.2.3. Indikasi umum perawatan endodonsia :
1. Gigi dengan kelainan yang telah mengenai jaringan pulpa dan periapikal
2. Sebagai pencegahan untuk menghindari infeksi jaringan periapikal
3. Untuk rencana pembuatan mahkota pasak
4. Sebagai penyangga / abunment gigi tiruan
5. Kesehatan umum pasien baik
6. Oral hygiene pasien baik
7. Masih didukung jaringan penyangga gigi yang baik
8. Pasien bersedia untuk dilakukan perawatan
9. Operator mampu.

3.2.4. Kontraindikasi perawatan endodonsia :
1. Gigi yang tidak dapat direstorasi lagi
2. Tidak didukung jaringan penyangga gigi yang cukup
3. Gigi yang tidak strategis, tidak mempunyai nilai estetik dan fungsional. Misalnya gigi yang lokasinya jauh di luar lengkung.
4. Fraktur vertikal
5. Resorpsi yang luas baik internal maupun eksternal
6. Gigi dengan saluran akar yang tidak dapat dipreparasi; akar terlalu bengkok, saluran akar banyak dan berbelit-belit.
7. Jarak interoklusal terlalu pendek sehingga akan menyulitkan dalam instrumentasi.
8. Kesehatan umum pasien buruk
9. Pasien tidak bersedia untuk dilakukan perawatan
10. Operator tidak mampu.

3.3 PERAWATAN ENDODONTIK KONVENSIONAL
Tujuan dasar dari perawatan endodontik pada anak mirip dengan pasien dewasa, yaitu untuk meringankan rasa sakit dan mengontrol sepsis dari pulpa dan jaringan periapikal sekitarnya serta mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologis oleh jaringan sekitarnya. Ini berarti bahwa tidak terdapat lagi simtom, dapat berfungsi dengan baik dan tidak ada tanda-tanda patologis yang lain. Faktor pertimbangan khusus diperlukan pada saat memutuskan rencana perawatan yang sesuai untuk gigi geligi sulung yaitu untuk mempertahankan panjang lengkung rahang.

3.3.1 Pulp Capping
Pulp Capping didefinisikan sebagai aplikasi dari satu atau beberapa lapis bahan pelindung di atas pulpa vital yang terbuka. Bahan yang biasa digunakan untuk pulp capping ini adalah kalsium hidroksida karena dapat merangsang pembentukan dentin sekunder secara efektif dibandingkan bahan lain. Tujuan pulp capping adalah untuk menghilangkan iritasi ke jaringan pulpa dan melindungi pulpa sehingga jaringan pulpa dapat mempertahankan vitalitasnya. Dengan demikian terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan. Teknik pulp capping ini ada dua yaitu indirect pulp capping dan direct pulp capping.

3.3.1.1 Indirect Pulp Capping
Istilah ini digunakan untuk menunjukan penempatan bahan adhesif di atas sisa dentin karies. Tekniknya meliputi pembuangan semua jaringan karies dari tepi kavitas dengan bor bundar kecepatan rendah. Lalu lakukan ekskavasi sampai dasar pulpa, hilangkan dentin lunak sebanyak mungkin tanpa membuka kamar pulpa. Basis pelindung pulpa yang biasa dipakai yaitu zinc okside eugenol atau dapat juga dipakai kalsium hidroksida yang diletakan di dasar kavitas. Apabila pulpa tidak lagi mendapat iritasi dari lesi karies diharapkan jaringan pulpa akan bereaksi secara fisiologis terhadap lapisan pelindung dengan membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini berhasil jaringan pulpa harus vital dan bebas dari inflamasi.
Biasanya atap kamar pulpa akan terbuka saat dilakukan ekskavasi. Apabila hal ini terjadi maka tindakan selanjutnya adalah dilakukan direct pulp capping atau tindakan yang lebih radikal lagi yaitu amputasi pulpa (pulpotomi).

3.3.1.2 Direct Pulp Capping
Direct Pulp Capping menunjukkan bahwa bahan diaplikasikan langsung ke jaringan pulpa. Daerah yang terbuka tidak boleh terkontaminasi oleh saliva, kalsium hidroksida dapat ditempatkan di dekat pulpa dan selapis semen zinc okside eugenol dapat diletakkan di atas seluruh lantai pulpa dan biarkan mengeras untuk menghindari tekanan pada daerah perforasi bila gigi di restorasi. Pulpa diharapkan tetap bebas dari gejala patologis dan akan lebih baik jika membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini berhasil maka pulpa di sekitar daerah terbuka tersebut harus vital dan dapat terjadi proses perbaikan.
Langkah-langkah Pulp Capping :
1. Siapkan peralatan dan bahan.
Gunakan kapas, bor, dan peralatan lain yang steril.
2. Isolasi gigi.
Selain menggunakan rubber dam, isolasi gigi juga dapat menggunakan kapas dan saliva ejector, jaga posisinya selama perawatan.
3. Preparasi kavitas.
Tembus permukaan oklusal pada tempat karies sampai kedalaman 1,5 mm (yaitu kira-kira 0,5 mm ke dalam dentin. Pertahankan bor pada kedalaman kavitas dan dengan hentakan intermitten gerakan bor melalui fisur pada permukaan oklusal.
4. Ekskavasi karies yang dalam
Dengan perlahan-lahan buang karies dengan ekskavator, mula-mula dengan menghilangkan karies tepi kemudian berlanjut ke arah pulpa. Jika pulpa vital dan bagian yang terbuka tidak lebih besar diameternya dari ujung jarum maka dapat dilakukan pulp capping.
5. Berikan kalsium hidroksida.
Keringkan kavitas dengan cotton pellet lalu tutup bagian kavitas yang dalam termasuk pulpa yang terbuka dengan pasta kalsium hidroksida.


3.3.2 Pulpotomi
Pulpotomi adalah pembuangan pulpa vital dari kamar pulpa kemudian diikuti oleh penempatan obat di atas orifis yang akan menstimulasikan perbaikan atau memumifikasikan sisa jaringan pulpa vital di akar gigi. Pulpotomi disebut juga pengangkatan sebagian jaringan pulpa. Biasanya jaringan pulpa di bagian korona yang cedera atau mengalami infeksi dibuang untuk mempertahankan vitalitas jaringan pulpa dalam saluran akar. Pulpotomi dapat dipilih sebagai perawatan pada kasus yang
melibatkan kerusakan pulpa yang cukup serius namun belum saatnya gigi tersebut untuk dicabut, pulpotomi juga berguna untuk mempertahankan gigi tanpa menimbulkan simtom-simtom khususnya pada anak-anak.
Indikasi pulpotomi adalah anak yang kooperatif, anak dengan pengalaman buruk pada pencabutan, untuk merawat pulpa gigi sulung yang terbuka, merawat gigi yang apeks akar belum terbentuk sempurna, untuk gigi yang dapat direstorasi.
Kontraindikasi pulpotomi adalah pasien yang tidak kooperatif, pasien dengan
penyakit jantung kongenital atau riwayat demam rematik, pasien dengan kesehatan umum yang buruk, gigi dengan abses akut, resorpsi akar internal dan eksternal yang patologis, kehilangan tulang pada apeks dan atau di daerah furkasi. Saat ini para dokter gigi banyak menggunakan formokresol untuk perawatan pulpotomi. Formokresol merupakan salah satu obat pilihan dalam perawatan pulpa gigi sulung dengan karies atau trauma. Obat ini diperkenalkan oleh Buckley pada tahun 1905 dan sejak saat itu telah digunakan sebagai obat untuk perawatan pulpa dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Beberapa tahun ini penggunaan formokresol sebagai pengganti kalsium hidroksida untuk perawatan pulpotomi pada gigi sulung semakin meningkat. Bahan aktif dari formokresol yaitu 19% formaldehid, 35% trikresol ditambah 15% gliserin dan air. Trikresol merupakan bahan aktif yang kuat dengan waktu kerja pendek dan sebagai bahan antiseptik untuk membunuh mikroorganisme pada pulpa gigi yang mengalami infeksi atau inflamasi sedangkan formaldehid berpotensi untuk memfiksasi jaringan.
Sweet mempelopori penggunaan formokresol untuk perawatan pulpotomi. Awalnya perawatan pulpotomi dengan formokresol ini dilakukan sebanyak empat kali kunjungan namun saat ini perawatan pulpotomi dengan formokresol dapat dilakukan untuk satu kali kunjungan.
Beberapa studi telah dilakukan untuk membandingkan formokresol dengan kalsium hidroksida dan hasilnya memperlihatkan bahwa perawatan pulpotomi dengan formokresol pada gigi sulung menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih baik daripada penggunaan kalsium hidroksida. Formokresol tidak membentuk jembatan dentin tetapi akan membentuk suatu zona fiksasi dengan kedalaman yang bervariasi yang berkontak dengan jaringan vital.
Zona ini bebas dari bakteri dan dapat berfungsi sebagai pencegah terhadap infiltrasi mikroba. Keuntungan formokresol pada perawatan pulpa gigi sulung yang terkena karies yaitu formokresol akan merembes melalui pulpa dan bergabung dengan protein seluler untuk menguatkan jaringan. Penelitian-penelitian secara histologis dan histokimia menunjukkan bahwa pulpa yang terdekat dengan kamar pulpa menjadi terfiksasi lebih ke arah apikal sehingga jaringan yang lebih apikal dapat tetap vital. Jaringan pulpa yang terfiksasi kemudian dapat diganti oleh jaringan granulasi vital.
Perawatan pulpotomi formokresol hanya dianjurkan untuk gigi sulung saja, diindikasikan untuk gigi sulung yang pulpanya masih vital, gigi sulung yang pulpanya
terbuka karena karies atau trauma pada waktu prosedur perawatan.

3.3.2.1 Pulpotomi Vital
Langkah-langkah perawatan pulpotomi vital formokresol satu kali kunjungan untuk gigi sulung :
1. Siapkan instrumen dan bahan. Pemberian anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit saat perawatan
2. Isolasi gigi.
Pasang rubber dam, jika rubber dam tidak bisa digunakan isolasi dengan kapas dan saliva ejector dan jaga keberadaannya selama perawatan.
3. Preparasi kavitas.
Perluas bagian oklusal dari kavitas sepanjang seluruh permukaan oklusal untuk memberikan jalan masuk yang mudah ke kamar pulpa.
4. Ekskavasi karies yang dalam.
5. Buang atap pulpa.
Dengan menggunakan bor fisur steril dengan handpiece berkecepatan rendah. Masukkan ke dalam bagian yang terbuka dan gerakan ke mesial dan distal seperlunya untuk membuang atap kamar pulpa.
4. Buang pulpa bagian korona.
Hilangkan pulpa bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar kecepatan rendah.
6. Cuci dan keringkan kamar pulpa.
Semprot kamar pulpa dengan air atau saline steril, syringe disposible dan jarum steril. Penyemprotan akan mencuci debris dan sisa-sisa pulpa dari kamar pulpa. Keringkan dan kontrol perdarahan dengan kapas steril.
7. Aplikasikan formokresol.
Celupkan kapas kecil dalam larutan formokresol, buang kelebihannya dengan menyerapkan pada kapas dan tempatkan dalam kamar pulpa, menutupi pulpa bagian akar selama 4 sampai dengan 5 menit.
8. Berikan bahan antiseptik.
Siapkan pasta antiseptik dengan mencampur eugenol dan formokresol dalam bagian yang sama dengan zinc oxide. Keluarkan kapas yang mengandung formokresol dan berikan pasta secukupnya untuk menutupi pulpa di bagian akar. Serap pasta dengan kapas basah secara perlahan dalam tempatnya. Dressing antiseptik digunakan bila ada sisa-sisa infeksi.
9. Restorasi gigi.
Tempatkan semen dasar yang cepat mengeras sebelum menambal dengan amalgam atau penuhi dengan semen sebelum preparasi gigi untuk mahkota stainless steel.

3.3.2.2 Pulpotomi Non Vital
Prinsip dasar perawatan endodontik gigi sulung dengan pulpa non vital adalah untuk mencegah sepsis dengan cara membuang jaringan pulpa non vital, menghilangkan proses infeksi dari pulpa dan jaringan periapikal, memfiksasi bakteri yang tersisa di saluran akar.
Perawatan endodontik untuk gigi sulung dengan pulpa non vital yaitu perawatan pulpotomi mortal (pulpotomi devital). Pulpotomi mortal adalah teknik perawatan endodontik dengan cara mengamputasi pulpa nekrotik di kamar pulpa kemudian dilakukan sterilisasi dan penutupan saluran akar.
Langkah-langkah perawatan pulpotomi devital :
Kunjungan pertama:
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Preparasi kavitas.
4. Ekskavasi karies yang dalam.
5. Buang atap kamar pulpa dengan bor fisur steril dengan handpiece kecepatan rendah.
6. Buang pulpa di bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar.
7. Cuci dan keringkan pulpa dengan air atau saline steril, syringe disposible dan jarum steril.
8. Letakkan arsen atau euparal pada bagian terdalam dari kavitas.
9. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
10. Bila memakai arsen instruksikan pasien untuk kembali 1 sampai dengan 3 hari, sedangkan jika memakai euparal instruksikan pasien untuk kembali setelah 1 minggu
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
Lihat apakah pulpa masih vital atau sudah non vital. Bila masih vital lakukan lagi perawatan seperti pada kunjungan pertama, bila pulpa sudah non vital lakukan perawatan selanjutnya.
3. Berikan bahan antiseptik.
4. Tekan pasta antiseptik dengan kuat ke dalam saluran akar dengan cotton pellet.
5. Aplikasi semen zinc oxide eugenol.
6. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.

3.3.3 Pulpektomi
Pulpektomi adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa. Pulpektomi merupakan perawatan untuk jaringan pulpa yang telah mengalami kerusakan yang bersifat irreversibel atau untuk gigi dengan kerusakan jaringan keras yang luas. Meskipun perawatan ini memakan waktu yang lama dan lebih sukar daripada pulp capping atau pulpotomi namun lebih disukai karena hasil perawatannya dapat diprediksi dengan baik. Jika seluruh jaringan pulpa dan kotoran diangkat serta saluran akar diisi dengan baik akan diperoleh hasil perawatan yang baik pula.
Indikasi perawatan pulpektomi pada anak adalah gigi yang dapat direstorasi, anak dengan keadaan trauma pada gigi insisif sulung dengan kondisi patologis pada anak usia 4-4,5 tahun, tidak ada gambaran patologis dengan resorpsi akar tidak lebih dari dua pertiga atau tiga perempat.

3.3.3.1 Pulpektomi Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali kunjungan :
1. Pembuatan foto Rontgen.
Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar gigi yang akan dirawat. Pemberian anestesi lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat perawatan.
b. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
c. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
d. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar kecepatan rendah.
e. Perdarahan yang terjadi setelah pembuangan jaringan pulpa dikendalikan dengan menekankan cotton pellet steril yang telah dibasahi larutan saline atau akuades selama 3 sampai dengan 5 menit.
f. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
g. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
h. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan jarum lentulo.
i. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian.
j. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng fosfat.
k. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.

3.3.3.2 Pulpektomi Non Vital
Perawatan endodontik untuk gigi sulung dengan pulpa non vital adalah pulpektomi mortal (pulpektomi devital). Pulpektomi mortal adalah pengambilan semua jaringan pulpa nekrotik dari kamar pulpa dan saluran akar gigi yang non vital, kemudian mengisinya dengan bahan pengisi. Walaupun anatomi akar gigi sulung pada beberapa kasus menyulitkan untuk dilakukan prosedur pulpektomi, namun perawatan ini merupakan salah satu cara yang baik untuk mempertahankan gigi sulung dalam lengkung rahang.
Langkah-langkah perawatan pulpektomi non vital :
Kunjungan pertama :
1. Lakukan foto rontgen.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Buang semua jaringan karies dengan ekskavator, selesaikan preparasi dan desinfeksi kavitas.
4. Buka atap kamar pulpa selebar mungkin.
5. Jaringan pulpa dibuang dengan ekskavator sampai muara saluran akar terlihat.
6. Irigasi kamar pulpa dengan air hangat untuk melarutkan dan membersihkan debris.
7. Letakkan cotton pellet yang dibasahi trikresol formalin pada kamar pulpa.
8. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
9. Instruksikan pasien untuk kembali 2 hari kemudian.
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Jaringan pulpa dari saluran akar di ekstirpasi, lakukan reaming, filling, dan irigasi.
4. Berikan Beechwood creosote.
2. Celupkan cotton pellet dalam beechwood creosote, buang kelebihannya, lalu letakkan dalam kamar pulpa.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
6. Instruksikan pasien untuk kembali 3 sampai dengan 4 hari kemudian.
Kunjungan ketiga :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Keringkan kamar pulpa, dengan cotton pellet yang berfungsi sebagai stopper masukkan pasta sambil ditekan dari saluran akar sampai apeks.
4. Letakkan semen zinc fosfat.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.

3.3.4 Endo Intrakanal
Endo intrakanal adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa yang sudah mati seluruhnya. Endo intrakanal merupakan perawatan untuk jaringan pulpa yang telah mengalami kerusakan yang bersifat irreversibel atau untuk gigi dengan kerusakan jaringan keras yang luas. Jika seluruh jaringan pulpa dan kotoran diangkat serta saluran akar diisi dengan baik akan diperoleh hasil perawatan yang baik pula. Tahapan perawatan endo intrakal sama dengan perawatan pulpektomi, perbedaan perawatannya adalah pada pemakaian anastesi, pada perawatan endo intrakanal tidak memerlukan anastesi karena gigi dalam kondisi non vital.

Indikasi endo intrakanal :
- Nekrosis pulpa totalis
- Perawatan ulang
- Kelainan periapikal

Kontraindikasi endo intrakanal :
- OH jelek
- Tidak mempunyai nilai estetik / fungsional
- Fraktur dengan arah vertikal
- Mengganggu pertumbuhan gigi tetangga
- Resorbsi interna / eksterna meliputi setengah akar

Langkah-langkah perawatan endo intrakanal :
1. Pembuatan foto Rontgen.
Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar gigi yang akan dirawat.
2. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
3. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
4. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar kecepatan rendah.
5. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
6. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
7. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan jarum lentulo.
8. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian.
9. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng fosfat.
10. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.

3.4 TEKNIK PERAWATAN SALURAN AKAR
Tahap-tahap perawatan endotektomi :
- Membuat foto untuk diagnose dan rencana perawatan
- Menyiapkan file, paper point
- Melakukan devitalisasi untuk gigi yang masih vital
- Untuk gigi non vital dilakukan pre sterilisasi
- Open bur, mengambil atap pulpa, mencari orifice : preparasi cavity entrance
- DWF ; tentukan panjang kerja
- Preparasi saluran akar dengan file, irigasi, foto preparasi : teknik konvensional, teknik step back, teknik crown down
- Sterilisasi memakai paper point, obat, kapas steril, tumpatan sementara. Sterilisasi ulang, sampai paper point kering dan tidak berbau
- Tes perbenihan
- Pengisian pasta Zn Oxide Eugenol : teknik single cone, teknik kondensasi lateral, teknik kondensasi vertikal
- Foto pengisian
- Basis Zn PO4
- Control 2 minggu kemudian, apabila tidak ada keluhan, dapat ditumpat tetap.


Fase-fase Perawatan Endodontik :
3.4.1. Preparasi Akses :
- Fase yang paling penting dari aspek teknik perawatan akar.
- Merupakan kunci untuk membuka pintu bagi keberhasilan tahap pembersihan, pembentukan dan obturasi saluran akarnya.
- Tujuan:
o Membuat akses yang lurus.
o Menghemat preparasi jaringan gigi.
o Membuka atap ruang pulpa.

Teknik Akses Preparasi Cavity Entrance
3.4.1.1 Outline Form Cavity Entrance
- Proyeksi ruang pulpa ke permukaan gigi di bagian cingulum untuk gigi anterior atau oklusal untuk gigi posterior.
- Tujuan : Untuk membuat akses yang lurus, menghemat preparasi jaringan gigi, membuka atap ruang pulpa.
a. Outline Form Insisivus RA : bentuknya trangular dengan alas sejajar insisal



b. Outline Form Kaninus RA : bentuknya oval / bulat dengan arah insiso servikal

c. Outline Form Premolar RA : bentuknya oval memanjang seperti ginjal dengan arah bukal palatal



d. Outline Form Premolar RB : bentuknya bulat / oval

e. Outline Form Molar RA : bentuknya triangular dengan alas sejajar bukal



f. Outline Form Molar RB : bentuknya triangular dengan alas sejajar mesial


3.4.1.2 Preparasi Cavity Entrance
3.4.1.2.1 Alat Preparasi Kavitas
1. Contra Angle Handpiece Low Speed
2. Macam-macam mata bur Low Speed
a. Round bur kecil
b. Round bur besar
c. Fissure bur silinder
d. Fissure bur long shank dan round end

3.4.1.2.2 Saluran Akar Tunggal
- Preparasi dimulai dengan round bur no 2 atau 4 atau tapered fissure diamond bur dengan arah tegak lurus pada permukaan enamel sampai menembus jaringan dentin dan diteruskan sampai atap pulpa terbukan dengan kedalaman 3 mm.
- Setelah itu arah bur diubah menjadi sejajar sumbu gigi sampai menembus ruang pulpa sehingga ditemukan lubang saluran akar yang terletak pada dasar ruang pulpa yang disebut orifice.
- Gunakan tapered fissure no 2 atau 4 untuk membentuk dinding cavity entrance divergen ke arah oklusal atau insisal sampai jarum miller dapat masuk dengan lurus, setelah terasa tembus maka orifice dicari dengan menggunakan jarum miller.
- Menghilangkan tanduk pulpa menggunakan round diamond bur dengan gerakan menarik keluar kavitas sehingga cavity entrance terbentuk dengan baik dan alat preparasi dapat dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bebas. Masukkan jarum ektirpasi, diputar searah jarum jam dan ditarik keluar, diulang lagi sampai jaringan pulpa dicabut.

Preparasi Cavity Entrance Insisivus RA

3.4.1.2.3 Saluran Akar Ganda
- Pembutan cavity entrance menggunakan round bur no1 atau tapered fissure diamond bur pada tengah fossa di bagian oklusal atau endo access.
- Setelah kedalaman preparasi mencapai dentin, preparasi dilanjutkan menggunakan fissure diamond bur sampai ditemukan orifice ke 3 saluran akar.
- Pada gigi berakar ganda, bila atap pulpa belum terbuka maka cari orifice yang paling besar terlebih dahulu, kemudian atap pulpa diangkat dengan bur sesuai letak orifice.
- Menghilangkan tanduk pulpa menggunakan round diamond bur dengan gerakan menarik keluar kavitas, sehingga cavity entrance terbentuk dengan baik dan alat preparasi dapat dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bebas.

Preparasi Cavity Entrance Premolar RA


Preparasi Cavity Entrance Molar RA


Preparasi Cavity Entrance Molar RB

3.4.1.2.4 Kesalahan-Kesalahan yang mungkin dapat terjadi pada waktu preparasi cavity entrance :
1. Preparasi salah arah menyebabkan terjadinya step atau perforasi lateral
2. Preparasi terlalu dalam menyebabkan perforasi menembus bufurkasi
3. Jika preparasi cavity entrance terlalu lebar maka dinding kavitas menjadi tipis dan mudah pecah jika ditumpat.


3.4.2. Penentuan Panjang Kerja
- Panjang Kerja : Panjang dari alat preparasi yang masuk ke dalam saluran akar pada waktu melakukan preparasi saluran akar.
- Menentukan panjang kerja dikurangi 1 mm panjang gigi sebenarnya, untuk menghindari :
o Rusaknya apical constriction (penyempitan saluran akar di apical).
o Perforasi ke apical.

- Cara melakukan DWP (Diagnostic Wire Photo)
Masukkan jarum miller atau file nomor kecil yang diberi stopper dengan guttap perca pada batas panjang gigi rata-rata dikurangi 1-2 mm lalu dilakukan foto Rö. Dari hasil foto dilakukan pengukuran dengan menggunakan rumus :
PGS = PGF x PAS
PAF
Keterangan :
PGS = panjang gigi sebenarnya
PGF = panjang gigi foto
PAS = panjang alat sebenarnya
PAF = panjang alat foto

3.4.3. Pembersihan dan Pembentukan Saluran Akar
- Pembersihan debridement : pembuangan iritan dari sistem saluran akar.
- Tujuan : Membasmi habis iritan tersebut walaupun dalam kenyataan praktisnya hanyalah sebatas pengurangan yang signifikan saja.
- Iritan: bakteri, produk samping bakteri, jaringan nekrotik, debris organik, darah dan kontaminan lain.

3.4.4. Pembentukan Saluran Akar
- Membentuk saluran akar melebar secar kontinyu dari apeks ke arah korona.
- Pelebaran
Saluran akar harus cukup besar untuk melakukan debridement yang baik dan dapat memanipulasi serta mengendalikan instrumen dan meterial obturasi dengan baik tapi tidak sampai melemahkan gigi serta meningkatkan peluang terjadinya kesalahan prosedur.
- Ketirusan
Ketirusan hasil preparasi harus cukup sehingga instrumen penguak dan pemampat gutta perca dapat berpenetrasi cukup dalam.
- Kriteria
Saluran akar siap menerima obturasi baik dengan kondensasi lateral maupun vertikal, saluran akar harus berbentuk corong ke arah korona dan dalam ukuran cukup besar sehingga instrument pemampat dan penguak dapar masuk cukup dalam.

3.4.5. Ekstirpasi Pulpa
Menggunakan jarum ekstirpasi, reamer ataupun miller.

3.4.5.1 Indikasi :
- Saluran akar lurus, tidak bengkok
- Tidak ada obliterasi saluran akar
- Saluran akar jelas
- Kerusakan belum mengenai bifurkasi
- Resorbsi < ⅓ panjang akar gigi → Pulpektomi - Resorbsi > ⅓ panjang akar gigi → Pulpotomi.

3.4.6. Teknik Perawatan Saluran Akar
3.4.6.1 Alat Preparasi Saluran Akar :
1. Jarum miller
2. Jarum ekstirpasi
3. Flexofile no. 15-80 penjang disesuaikan dengan panjang elemen
4. Alat irigasi
5. Cotton pellet, paper point steril, dan cotton roll
6. Tempat jarum
7. GGD

3.4.6.2 Gigi Permanen
3.4.6.2.1 Teknik Konvensional
1. Teknik konvensional yaitu teknik preparasi saluran akar yang dilakukan pada gigi dengan saluran akar lurus dan akar telah tumbuh sempurna.
2. Preparasi saluran akar menggunakan file tipe K
3. Gerakan file tipe K-flex adalah alat diputar dan ditarik. Sebelum preparasi stopper file terlebih dahulu harus dipasang sesuai dengan panjang kerja gigi. Stopper dipasang pada jarum preparasi setinggi puncak tertinggi bidang insisal. Stopper digunakan sebagai tanda batas preparasi saluran akar.
4. Preparasi saluran akar dengan file dimulai dari nomor yang paling kecil. Preparasi harus dilakukan secara berurutan dari nomor yang terkecil hingga lebih besar dengan panjang kerja tetap sama untuk mencegah terjadinya step atau ledge atau terdorongnya jaringan nekrotik ke apikal.
5. Selama preparasi setiap penggantian nomor jarum preparasi ke nomor yang lebih besar harus dilakukan irigasi pada saluran akar. Hal ini bertujuan untuk membersihkan sisa jaringan nekrotik maupun serbuk dentin yang terasah. Irigasi harus dilakukan secara bergantian anatar H2O2 3% dan aquadest steril, bahan irigasi terakhir yang dipakai adalah aquadest steril.
6. Bila terjadi penyumbatan pada saluran akar maka preparasi diulang dengan menggunakan jarum preparasi yang lebih kecil dan dilakukan irigasi lain. Bila masih ada penyumbatan maka saluran akar dapat diberi larutan untuk mengatasi penyumbatan yaitu larutan largal, EDTA, atau glyde (pilih salah satu).
7. Preparasi saluran akar dianggap selelsai bila bagian dari dentin yang terinfeksi telah terambil dan saluran akar cukup lebar untuk tahap pengisian saluran akar.

Preparasi saluran akar teknik konvensional

3.4.6.2.2 Teknik Step Back
a. Yaitu teknik preparasi saluran akar yang dilakukan pada saluran akar yang bengkok dan sempit pada 1/3 apikal.
b. Tidak dapat digunakan jarum reamer karena saluran akar bengkok sehingga preparasi saluran akar harus dengan pull and push motion, dan tidak dapat dengan gerakan berputar.
c. Dapat menggunakan file tipe K-Flex atau NiTi file yang lebih fleksibel atau lentur.
d. Preparasi saluran akar dengan jarum dimulai dari nomer terkecil :
No. 15 s/d 25 = sesuai panjang kerja
File No. 25 = Master Apical File (MAF)
No. 30 = panjang kerja – 1 mm MAF
No. 35 = panjang kerja – 2 mm MAF
No. 40 = panjang kerja – 3 mm MAF
No. 45 = panjang kerja sama dengan no. 40 dst
e. Setiap pergantian jarum file perlu dilakukan pengontrolan panjang kerja dengan file no. 25, untuk mencegah terjadinya penyumbatan saluran akar karena serbuk dentin yang terasah.
f. Preparasi selesai bila bagian dentin yang terinfeksi telah terambil dan saluran akar cukup lebar untuk dilakukan pengisian.

Preparasi saluran akar teknik step back

3.4.6.2.3 Teknik Balance Force
1. Menggunakan alat preparasi file tipe R- Flex atau NiTi Flex
2. Menggunakan file no. 10 dengan gerakan steam wending, yaitu file diputar searah jarum jam diikuti gerakan setengah putaran berlawanan jarum jam.
3. Preparasi sampai dengan no. 35 sesuai panjang kerja.
4. Pada 2/3 koronal dilakukan preparasi dengan Gates Glidden Drill (GGD)
GGD #2 = sepanjang 3 mm dari foramen apical
GGD #3 = sepanjang GGD #2 – 2 mm
GGD #4 = sepanjang GGD #3 – 2 mm
GGD #5 = sepanjang GGD #4 – 2 mm
GGD #6 = sepanjang GGD #5 – 2 mm
5. Preparasi dilanjutkan dengan file no. 40 s/d no.45
6. Dilakukan irigasi
7. Keuntungan balance force :
- Hasil preparasi dapat mempertahankan bentuk semula
- Mencegah terjadinya ledge dan perforasi
- Mencegah pecahnya dinding saluran akar
- Mencegah terdorongnya kotoran keluar apeks

3.4.6.2.4 Teknik Crown Down Presureless
a. Teknik disebut juga dengan teknik step down, merupakan modifikasi dari teknik step back.
b. Diawali dengan file terbesar sx/Gates Gliden Drill preparasi 1/3 koronal (19 mm).
c. Menghasilkan hasil yang serupa yakni seperti corong yang lebar dengan apeks yang kecil (tirus).
d. Bermanfaat pada saluran akar yang kecil dan bengkok di molar RA dan RB.
e. Saluran akar sedapat mungkin dibersihkan dengan baik sebelum instrument ditempatkan di daerah apeks sehingga kemungkinan terjadinya ekstruksi dentin ke jaringan periapeks dapat dikurangi.
f. Menggunakan instrument nikel-titanium, baik yang genggam maupun digerakkan mesin.

3.4.6.3 Gigi Sulung
Teknik Konvensional
Prosedur Teknik Konvensional pada Gigi Sulung sama seperti Teknik Konvensional pada Gigi Permanen.

3.4.7. Irigasi Saluran Akar
3.4.7.1 Tujuan :
Untuk mengeluarkan sisa jaringan nekrotik, serbuk dentin, dan kotoran-kotoran lain yang terdapat di saluran.
- Irigasi dilakukan setiap :
o Pergantian file pada saat preparasi saluran akar
o Pada saat akan melakukan perbenihan
o Sterilisasi saluran akar

3.4.7.2 Bahan irigasi yang digunakan :
- H2O2 3%
- Aquadest steril
- NaOCl

3.4.7.3 Alat irigasi yang digunakan :
- Spuit 2,5 cc dengan jarum yg dibengkokan dan ujungnya ditumpulkan
- Alat irigasi yang dipakai harus diberi tanda untuk membedakan isi cairan irigasi yang dipakai
- Alat irigasi disimpan dalam botol tertutup berisi alkohol 70% agar tetap terjaga sterilisasinya

3.4.7.4 Cara irigasi :
- Jarum irigasi dimasukkan kedalam saluran akar. Jarum irigasi yang masuk kedalam saluran akar tidak boleh terlalu besar sehingga membuntu saluran akar yang akan mengakibatan cairan irigasi yang disemprotkan tidak mengalir keluar.
- Bahan irigasi disemprotkan secara perlahan-lahan ke dalam saluran akar
- Bahan irigasi digunakan secara bergantian. Bahan irigasi yang terakhir disemprotkan ke dalam saluran akar harus aquadest steril.
- Menghisap cairan irigasi yang keluar dengan cotton roll atau saliva ejector atau section. Tidak boleh terkontaminasi dengan saliva.
- Setelah irigasi, saluran akar dikeringkan dengan menggunakan paper point. Tidak boleh pakai hembusan udara

3.4.8. Bahan dan Obat-obatan Sterilisasi
3.4.8.1 Sebagai desinfektan antibakteri dengan spektrum luas :
- ChKM ( Chlorophenol Kamfer Menthol )
- Cresophene
- Cresatin
- Formokresol
- TKF ( Tri Kresol Formalin )
- Eugenol (sebagai sedative, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang dikombinasikan pada saat dilakukan devitalisasi.)

3.4.8.2 Preparat poliantibiotik :
Grossman :
- Penisilin ( efektif terhadap gram (+)
- Streptomysin ( efektif terhadap gram (–)
- Sodium kapsilat ( efektif terhadap jamur )

3.4.8.3 Kombinasi antibiotik kortikosteroid :
- Kortikosteroid ( mengurangi keradangan periapikal .)
- Antibiotik ( membunuh bakteri ex : septomixine dan ledermix .)

3.4.8.4 Bahan devitalisasi
- Arsen ( As2O3 ) ( digunakan pada gigi permanen.)
- Caustinerf Pedodontique / forte ( digunakan pada gigi sulung.)
- TKF ( Tri Kresol Formalin )

3.4.8.5 Medikamen Intrakanal yang biasa digunakan :
3.4.8.5.1 Golongan Fenol :
- Eugenol
- CMCP ( Camphorated Monoparachlorophenol )
- Parachlorophenol ( PCP )
- Camphorated parachlorophenol ( CPC )
- Metakresilasetat ( cresatin )
- Kresol
- Creosote ( beechwood )
- Timol

3.4.8.5.2 Aldehid :
- Formokresol
- Glutaraldehid

3.4.8.5.3 Halida :
- Natrium hipoklorit
- Iodine kalium iodida

3.4.8.5.4 Steroid

3.4.8.5.5 Hidroksida kalsium
• Bukan antiseptik konvensional
• Dapat menghambat pertumbuhan bakteri
• Bekerja lambat
• Harus berkontak langsung
• Dapat digunakan sebagai antiseptik antar kunjungan (terutama pada gigi nekrotik)

3.4.8.5.6 Antibiotik
3.4.8.5.7 Kombinasi

3.4.9. Perbenihan
3.4.9.1 Prosedur perbenihan :
- Pasien dikontrol lebih dulu
- Siapkan papper point dan cotton pellet. Masukkan papper point dan cotton pellet ke dalam Glassbead sterilisator dan ditutup, nyalakan, biarkan sampai lampu pada glassbead sterilisator menjadi hijau (Ready). Papper point dan cotton pellet siap digunakan. Buka alat glassbead sterilisator.

Hasil Perbenihan negatif, saluran akar dapat diisi dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
- Tidak ada keluhan pasien
- Tidak ada gejala klinik
- Tidak ada eksudat dalam saluran akar (cek dari papper point yang terdapat dalam saluran akar caranya ulaskan papper point pada glass lab. Bila tidak berbekas, berarti bisa dilakukan pengisian), papper point diulaskan di glass lab.
- Tumpatan sementara masih baik

Hasil pembenihan positif, maka dilakukan sterilisasi ulang sampai hasil pembenihan negatif.

3.4.10. Bahan Pengisian Saluran Akar
3.4.10.1 Syarat-Syarat Bahan Pengisi Saluran Akar
a. Bahan harus dapat dengan mudah dimasukkan ke saluran akar.
b. Harus menutup saluran ke arah lateral dan apikal.
c. Harus tidak mengerut setelah dimasukkan.
d. Harus kedap terhadap cairan.
e. Harus bakterisidal atau paling tidak harus menghalangi pertumbuhan bakteri.
f. Harus radiopak.
g. Tidak menodai struktur gigi.
h. Tidak mengiritasi jaringan periapikal atau mempengaruhi struktur gigi.
i. Harus steril atau dapat segera disterilkan dengan cepat sebelum dimasukkan.
j. Bila perlu dapat dikeluarkan dengan mudah dari saluran akar.

3.4.10.2 Gigi Sulung
- Zinc oxide eugenol paste
- Iodoform paste
- Calcium hydroxide

3.4.10.3 Gigi Permanen
3.4.10.3.1 Siller berbasis OSE
• Keuntungan :
Riwayat keberhasilan berlangsung lama, kualitas positif mengalahkan aspek negatifnya (mewarnai gigi, waktu pengerasan sangat lambat, tidak adhesive, larut).

3.4.10.3.2 Formula Grossman
Bubuk :
- ZnO (badan semen) 42 bagian
- Resin stabelit (konsistensi dan waktu pengerasan) 27 bagian
- Bismuth subkarbonat 15 bagian
- BaSO4 (keradiopakkan) 15 bagian
- Na-barat 1 bagian
Cairan : Eugenol
• Masalah yang ada pada formula ini adalah waktu pengerasan sangat lambat, > 2 bulan.

3.4.10.3.3 Plastik
• Epoksi tersedia dalam formula bubuk cairan (AH26).
• Sifat yang dimiliki : antimikroba, adhesi, waktu kerja yang lama, mudah mengaduknya, dan kerapatan yang sangat baik.
• Kekurangannya : mewarnai gigi, relative tidak larut dalam pelarut, agak sedikit toksik jika belum mengeras dan agak larut pada cairan mulut.

3.4.10.3.4 Hidroksida kalsium (CaOH)2
• Siller Ca(OH)2 yang telah diperkenalkan adalah siller yang Ca(OH)2 nya diinkoporasikan ke dalam basis OSE atau basis plastiknya.

3.4.10.3.5 Ionomer Kaca
• Material ini memiliki keuntungan bisa beradhesi ke dentin sehingga diharapkan bisa mencapai kerapatan yang baik di apeks dan korona dan biokompatibel. Tapi, kekerasan dan ketidaklarutannya menyukarkan perawatan ulang jika diperlukan dan menyukarkan pembuatan pasak.

3.4.11. Teknik Pengisian Saluran Akar
3.4.11.1 Alat Pengisian Saluran Akar :
1. Glass plate
2. Alat pengaduk semen
3. Stopper semen
4. Jarum lentulo
5. Finger spreader

Gigi Sulung dan Gigi Permanen
3.4.11.2 Teknik single cone
Teknik pengisian saluran akar untuk teknik preparasi secara konvension
Tahapan :
- Pencampuran pasta saluran akar petunjuk pabrik
- Pasta diulaskan pada jarum lentulo dan guttap point untuk kemudian dimasukan kedalam saluran akar yang telah dipreparasi jarum lentulo sesuai panjang kerja dan diputar berlawanan jarum jam.
- Guttap point ( trial foto disterilkan dengan alcohol 70% dan dikeringkan )
1. Pilih guttap point yang diameternya sesuai dengan reamer / file terakhir yang digunakan pada waktu preparasi saluran akar.
2. Tandai guttap point sesuai dengan panjang kerja.
3. Masukkan guttap point dalam saluran akar sebatas tanda.
4. Guttap point yang memenuhi syarat dapat masuk saluran akar sebatas panjang kerja dan rapat dengan dinding saluran akar.
- Kering ( diulas dengan pasta ) masuk ke dalam saluran akar.
- Guttap point di potong 1-2mm dibawah orifice dengan ekskavator yang ujungnya telah di panasi dengan bunsen burner hingga membara.
- Kemudian dasar ruang pulpa diberi basis semen seng fosfat lalu ditutup kapas dan tumpatan sementara menggunakan fletcher atau cavit.

Gigi Permanen
3.4.11.3 Teknik Kondensasi Lateral
Dengan teknik preparasi saluran akar secara step back. Sering digunakan hampir semua keadaan kecuali pada saluran akar yang sangat bengkok / abnormal
Tahapan :
- Pencampuran pasta
- Guttap point ( trial foto disterilkan 70% alcohol dan dikeringkan
- Guttap point nomor 25 (MAF) diulasi dengan pasta ke saluran akar sesuai dengan tanda yang telah dibuat dan ditekan kea rah lateral menggunakan spreader.
- Ke dalam saluran akar diberi guttap tambahan, setiap memasukan guttap di tekan ke arah lateral sampai saluran akar penuh dan spreader tidak dapat masuk dalam saluran akar.
- Guttap point dipotong 1-2mm dibawah orifice dengan eskavator yang telah dipanasi
- Guttap point dipadatkan dengan root canal plugger
- Bila pengisian sudah baik, maka dasar ruang pulpa diberi basis semen seng fosfat, ditutup kapas dan tumpatan sementara.

3.4.11.4 Teknik Kondensasi Vertical (Gutta perca panas)
Untuk pengisian saluran akar dengan teknik step back. Menggunakan pluger yang dipanaskan, dilakukan penekanan pada guttap perca yang telah dilunakan dengan panas kearah vertical dan dengan demikian menyebabkan guttap perca mengalir dan mengisi seluruh lumen saluran akar.
Tahapan :
- Suatu kerucut guttap perca utama sesuai dengan instrument terakhir yang digunakan pada saluran dengan cara step back
- Dinding saluran dilapisi dengan lapis tipis semen dengan menggunakan lentulo.
- Kerucut disemen
- Ujung koronal kerucut dipotong dengan instrument panas
- Pembawa panas segera didorong ke dalam 1/3 koronal guttap perca. Sebagian terbakar oleh plugel bila diambil dari saluran akar.
- Condenser vertical dengan ukuran yang sesuai dimasukan dan tekanan vertical dikenakan pada guttap perca yang telah dipanasi untuk mendorong guttap perca yang menjadi plastis ke arah apikal
- Apikalis panas berganti oleh pembawa panas dan condenser diulangi sampai guttap perca plastis menutup saluran aksesori besar dan mengisi luman saluran dalam 3 dimensi – foramen apikal. Bagian sisa saluran diisi dengan potongan tambahan guttap perca panas.
- Bila pengisisan sudah baik, maka dasar pulpa diberi basis semen ZnPO4, kemudian ditumpat sementara.

3.4.11.5 Metode seksional (teknik pluger)
Dapat digunakan untuk mengisi saluran ke arah apikal dan lateral. Teknik menggunakan suatu bagian kerucut guttap perca untuk mengisi suatu bagian 1/3 saluran akar / ujung apikal.
Tahapan :
- Dinding saluran akar dilapisi semen
- Pluger saluran dimasukan sampai 3-4mm dari apeks dipanaskan dalam sterilitator garam panas (1011)
- Kerucut guttap perca dipotong beberapa bagian sesuai dengan ukuran saluran yang telah dipreparasi dengan panjang 3-4mm
- Potong apikal ditempelkan pada pluger yang telah dipanasi, dimasukan ke dalam saluran pada kedalaman yang sebelumnya telah diukur dan ditekan ke arah vertical
- Pluger dilepas dengan hati-hati untuk mencegah ke luarnya bagian guttap perca yang dimasukan
- Dibuat radiograf untuk memeriksa posisi dan kesesuaian bagian yang dikondensasi
- Bagian berikutnya dimasukan kedalam eukaliptol, dipanaskan tinggi diatas nyala api dan ditambahkan pada bagian sebelumnya dengan tekanan vertical untuk memampatkan pengisi

3.4.11.6 Metode kompaksi
- Menggunakan panas untuk mengurangi viskositas guttap perca dan menaikan plastisitasnya
- Digunakan untuk pengisi saluran yang lurus
- Menggunakan metode step back

3.4.11.7 Metode Inverted cone
- Digunakan terbatas pada gigi dengan saluran kecil, berkelok-kelok, yang tidak dapat diisi dengan kerucut guttap perca secara lepas

3.4.11.8 Metode Role Gutta perca
- Untuk mengisi saluran kecil bahan tersebut yang bengkok

3.4.11.9 Pengambilan Guttap Point dengan GGD
a. Menentukan panjang GGD :
1. Panjang kerja (PK) – panjang mahkota = panjang akar
2. Panjang 1/3 apikal = panjang akar : 3
3. Panjang GGD = PK – panjang 1/3 apikal
4. GGD dimasukkan dalam contra angle handpiece low speed
b. Membuka tumpatan sementara, cotton pellet diambil.
c. Pemakaian GGD secara berurutan, dimulai dari ukuran besar sampai sesuai besarnya saluran akar.
d. GGD yang telah disiapkan dimasukkan dalam saluran akar (letak GGD harus lurus / sejajar dengan sumbu gigi) kemudian airmotor digerakkan sampai guttap point terpotong dan seterusnya hingga mencapai panjang kerja GGD yang telah ditentukan.
e. Serpihan guttap point dibersihkan dari saluran akar dengan hembusan udara.
f. Rongga saluran akar yang kosong diisi dengan kapas steril, kemudian ditumpat sementara.

3.5 PENYEBAB KEGAGALAN PERAWATAN SALURAN AKAR
Secara umum penyebab kegagalan dapat didaftar secara kasar dari yang frekuensinya paling sering sampai ke yang paling jarang, yaitu kesalahan dalam diagnosis dan rencana perawatan; kebocoran tambalan di mahkota; kurangnya pengetahuan anatomi pulpa; debridement yang tidak memadai; kesalahan selama perawatan; kesalahan dalam obturasi; proteksi tambalan yang tidak cukup; dan fraktur akar vertikal.
Berbagai prosedur yang terkait dengan perawatan saluran akar dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap praperawatan, selama perawatan dan pasca perawatan. Mengingat kegagalan perawatan saluran akar terkait dengan tiap-tiap tahap tersebut, maka penyebab kegagalannya pun diklasifikasi sesuai dengan tahap-tahap itu.

3.5.1. Faktor Kegagalan Tahap Pra-perawatan
Kegagalan perawatan saluran akar pada tahap praperawatan sering disebabkan oleh :
1. Diagnosis yang keliru
a. Diagnosis yang tidak tepat, biasanya berasal dari kurangnya atau salahnya interpretasi informasi, baik informasi klinis maupun radiografis. Radiograf merupakan alat bantu utama dalam penilaian konfigurasi anatomik sistem saluran akar perawatan.
b. Tidak teridentifikasinya penyimpangan berbagai sistem saluran akar pada radiograf sering menjadi penyebab kegagalan perawatan saluran akar. Fraktur dentin akar atau didiagnosis keliru. Inflamasi kronis yang timbul akan menyebabkan defek periodontal, defek ini sering baru terlihat di kemudian hari.
c. Dalam mendiagnosis suatu penyakit sangat diperlukan ketelitian dan pemahaman dokter gigi akan gejala-gejala suatu penyakit. Karena keterbatasan pengetahuan, peralatan ataupun karena kelalaian dokter gigi, tidak jarang terjadi kesalahan dalam mendiagnosis penyakit yang dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam proses penyembuhan.
2. Kesalahan dalam perencanaan perawatan
Sebagian rencana perawatan adalah mengidentifikasi kasus-kasus mana yang cenderung akan mengalami kegagalan walaupun baiknya perawatan yang dilakukan.
3. Seleksi kasus yang buruk
Seleksi kasus menentukan apakah perawatan dapat dilakukan atau tidak. Sejumlah kegagalan yang disebabkan oleh seleksi kasus yang buruk akan menimbulkan kekliruan dalam menilai kerjasama pasien serta kesukaran yang mungkin timbul selama perawatan.
4. Merawat gigi dengan prognosis yang buruk.


3.5.2. Faktor Kegagalan Selama Perawatan
Banyak kegagalan perawatan saluran akar yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan dalam prosedur perawatan, kesalahan dapat terjadi pada saat pembukaan kamar pulpa, saat melakukan preparasi saluran akar dan saat pengisian saluran akar.
- Kesalahan Pembukaan Kamar Pulpa
Tujuan utama pembukaan kamar pulpa adalah untuk mendapatkan jalan langsung ke foramen apikal tanpa adanya hambatan serta untuk memudahkan penglihatan pada semua orofis saluran akar. Pembukaan kamar pulpa untuk setiap gigi mempunyai desain yang berbeda, suatu pembukaan yang dilakukan dengan baik akan menghilangkan kesulitan-kesulitan teknis yang dijumpai dalam perawatan saluran akar.
Kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi selama melakukan pembukaan kamar pulpa adalah :
1. Perforasi Permukaan akar
Perforasi dapat terjadi ke arah proksimal atau labial. Perforasi disebabkan karena preparasi pembukaan dilakukan dengan sudut yang tidak mengarah ke kamar pulpa. Hal ini terjadi karena waktu melakukan preparasi akses, ditemui kesulitan menemukan lokasi kamar pulpa walaupun dari gambaran foto Rontgen jelas.
2. Perusakan dasar kamar pulpa
Bor yang memotong dasar kamar pulpa dapat menyebabkan terjadinya perforasi pada furkasi. Selai itu, pemakaian bor fisur yang berujung datar akan membuat dasar kamar pulpa menadi datar sehingga merusak bentuk corong alamiah orifis yang akan menyulitkan pemasukan instrumen, paper point serta bahan pengisian ke dalam saluran akar.
3. Preparasi saluran melalui tanduk pulpa
Preparasi yang terlalu dangkal akan menyebabkan saluran akar dicapai melalui tanduk pulpa, selain itu akan menyulitkan pembersihan kamar pulpa dan saluran akar dengan baik.
4. Membuat pembukaan proksimal
Pembukaan yang dilakukan melalui karies yang ada proksimal akan menyebabkan instrumen yang dipakai untuk saluran akar harus dibengkokkan, akibatnya preparasi saluran akar tidak tepat dan instrumen dapat patah dalam saluran akar.
5. Membuat pembukaan yang terlalu kecil
Pembukaan yang terlalu kecil akan mengakibatkan terperangkapnya jaringan pulpa terutama yang berada dibawah tanduk pulpa, juga akan menyulitkan pencarian orifis sehingga saluran akar tidak dapat ditemukan.
6. Preparasi pembukaan melebar ke arah dasar kamar pulpa
Pada preparasi yang melebar ke arah dasar kamar pulpa akan mengakibatkan melemahnya kemampuan menerima daya kunyah sehingga dapat melepaskan tambalan sementara dan akhirnya terjadi kebocoran.
- Kesalahan Selama Preparasi Saluran Akar
Tahap preparasi saluran akar mencakup proses pembersihan (cleaning) dan pembentukan (shaping). Pada tahap ini dapat terjadi kegagalan perawatan saluran akar yang disebabkan oleh :
1. Instrumentasi berlebih (over instrumentasi)
Instrumen menembus ke luar melalui foramen apikal sehingga dapat menyebabakan terjadinya inflamasi periapikal. Instrumentasi yang melewati konstriksi apikal dapat mentransfer mikroorganisme dan mendorong bubuk dentin dari saluran akar ke jaringan periapikal sehingga dapat memperburuk hasil perawatan.
2. Instrumentasi kurang (underinstrumentasi)
Instrumen tidak mencapai panjang kerja yang benar sehingga pembersihan saluran akar tidak sempurna, masih meninggalkan jaringan nekrotik di dalam saluran akar.
3. Preparasi berlebihan
Yang dimaksud dengan preparasi berlebihan adalah pengambilan jaringan gigi yang berlebih dalam arah mesio-distal dan buko-lingual. Hal ini dapat terjadi dibagian koronal atau pertengahan saluran sehingga melemahkan akar dan dapat menyebabkan fraktur akarselama berlangsungnya kondensasi.


4. Preparasi yang kurang
Preparasi yang kurang adalah kegagalan dalam pengambilan jaringan pulpa, kikiran dentin dan mikroorganisme dari sistem saluran akar. Saluran dibentuk sempurna sehingga pengisian kurang hermetis.
5. Terbentuknya birai (ledge) dan perforasi
Terbentuknya birai atau perforasi laterala dapat menghalangi proses pembersihan, pembentukan dan pengisian saluran akar yang sempurna. Adanya birai atau perforasi lateral akan meninggalkan bahan iritasi dan atau akan menambah buruk keadaan pada ligamen perodontal sehingga prognosisnya menjadi buruk.
6. Instrumen patah dalam saluran akar
Instrumen patah dalam saluran menyebabkan kesulitan tahap perawatan saluran akar selanjutnya. Prognosisnya buruk bila saluran akar disebelah apical patahan yang belum dibersihkan masih panjang atau fragmen patahan keluar dari foramen apikal.
7. Kesalahan pada waktu irigasi saluran akar
Bila bahan irigasi yang dipakai bersifat toksik, dapat menyebabkan iritasi pada jaringan periapikal. Cara penyemprotan bahan irigasi terlalu keras atau memasukkan jarumnya terlalu dalam dapat mendorong bubuk dentin dan mikroorganisme keluar dari foramen apikal, sehingga dapat mengiritasi jaringan periapikal.
8. Kesalahan dalam sterilisasi saluran akar
Mikroorganisme masih tersisa di dalam tubuli dentin, saluran lateral atau ramifikasi saluran akar karena obat-obat disinfeksi yang digunakan kurang efektif, sehingga dapat menyebabkan terjadinya reinfeksi.
- Kesalahan Saat Pengisian Saluran Akar
Kegagalan perawatan saluran akar dapat disebabkan karena kesalahan-kesalahan yang terjadi saat pengisian saluran akar, yaitu :
1. Pengisian yang tidak sempurna
Pengisian yang berlebih (overfilling), pengisian yang kurang (underfilling) atau pengisian yang tidak hermetis, dapat memicu terjadinya inflamasi jaringan periapikal, saluran akar dapat terkontaminasi bakteri dari periapikal sehingga terjadi reinfeksi.
2. Pengisian saluran akar dilakukan pada saat yang tidak tepat.
Pengisian saluran akar dilakukan pada keadaan belum steril, masih terdapat eksudat yang persisten atau masih terdapat sisa jaringan yang terinfeksi.
3. Pengisian saluran akar dilakukan pada keadaan tidak steril.
Keadaan rongga mulut maupun alat-alat yang digunakan pada waktu dilakukan pengisian saluran akar, tidak steril.

3.5.3. Faktor Penyebab Kegagalan Pasca Perawatan
Kejadian pasca perawatan dapat menyebabkan kegagalan perawatan secara langsung atau tidak langsung, misalnya.
1. Restorasi yang kurang baik atau desain restorasi yang buruk.
Restorasi yang baik akan melindungi sisa gigi dan mencegah kebocoran dari rongga mulut kedalam sistem saluran akar. Restorasi pasca perawatan saluran akar yang kurang baik akan menyebabkan terbukanya semen dan menyebabkan terkontaminasinya kamar pulpa dan saluran akar oleh saliva dan bakteri, sehingga mengakibatkan kegagalan perawatan saluran akar.
2. Trauma dan fraktur
Kesalahan preparasi pada waktu pembuatan pasak dapat menyebabkan kegagalan perawatan. Pengambilan dentin saluran akar yang terlalu banyak akan melemahkan akar gigi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya fraktur vertikal.
3. Terkenanya jaringan periodontal
Kegagalan bisa disebabkan karena non endodontik, walaupun perawatan saluran akar dilakukan dengan baik. Hal ini dapat disebabkan karena efek merusak dari perawatan ortodontik atau penyakit periodontium.

3.5.4. Tanda-Tanda Kegagalan Perawatan Saluran Akar
Di samping kurangnya konsensus mengenai kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, rentang waktu yang diperlukan bagi tindak lanjut pasca perawatan yang memadai juga masih kontroversial. Periode yang dianjurkan berkisar 6 bulan sampai 4 tahun. Keberhasilan yang nyata dalam kurun waktu satu tahun bukan keberhasilan yang langgeng karena kegagalan mungkin terjadi setiap saat. Penentuan berhasil atau tidaknya suatu perawatan diambil dari pemeriksaan klinis dan radigrafis dan histologis (mikroskopis). Hanya temuan klinis dan radiografis yang dapat dievaluasi dengan mudah oleh dokter gigi, pemeriksaan histologis pada umumnya digunakan sebagai alat penelitian.

3.5.4.1. Tanda-tanda Kegagalan secara Klinis
Kegagalan perawatan saluran akar yang dilihat secara klinis yang lazim dinilai adalah tanda gejala klinis, yaitu :
1. Rasa nyeri baik secara spontan maupun bila kena rangsang.
2. Perkusi dan tekanan terasa peka.
3. Palpasi mukosa sekitar gigi terasa peka.
4. Pembengkakan pada mukosa sekitar gigi dan nyeri bila ditekan.
5. Adanya fistula pada daerah apikal.

3.5.4.2. Tanda-tanda Kegagalan secara Radiografis
Kemungkinan kesalahan dalam interprestasi radiografis adalah faktor penting yang dapat merumitkan keadaan. Konsistensi dalam jenis film dan waktu pengambilan, angulasi tabung sinar dan film, kondisi penilaian radiograf yang sama merupakan hal-hal yang penting untuk diperhatikan. Biasa perorangan juga akan mempengaruhi interpretasi radiografis. Perubahan radiologis cenderung bervariasi menurut orang yang memeriksanya sehingga pendapat yang dihasilkan pun berbeda. Tanda-tanda kegagalan perawatan saluran akar secara radiografis adalah adanya :
1. Perluasan daerah radiolusen di dalam ruang pulpa (internal resorption).
2. Pelebaran jaringan periodontium.
3. Perluasan gambaran radiolusen di daerah periapikal.

3.5.4.3. Tanda-tanda Kegagalan secara Histologis (Mikroskopis)
Karena kurangnya penelitian histologis yang terkendali dengan baik, ada ketidakpastian mengenai derajat korelasi antara temuan histologis dengan gambaran radiologisnya. Pemeriksaan histologis rutin jaringan periapikal pasien jarang dilakukan. Tanda-tanda kegagalan secara histologis adalah :
1. Adanya sel-sel radang akut dan kronik di dalam jaringan pulpa dan periapikal.
2. Ada mikro abses.
3. Jaringan pulpa mengalami degeneratif sampai nekrotik.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.1.1 Pembuatan Mahkota dan Jembatan
Pembuatan gigi tiruan jembatan dan mahkota tidak harus melalui pulpektomi. Pulpektomi dilakukan apabila pulpa gigi dari gigi yang akan dipreparasi terkena infeksi. Bila gigi dalam keadaan vital (pulpa belum terkena) maka pulpektomi tidak perlu dilakukan.

4.1.2 Macam-Macam Perawatan Endodontik
4.1.2.1. ENDO KONVENSIONAL
1. PULP CAPPING
a. DIREK
b. INDIREK
2. PULPOTOMI
3. PERAWATAN S.A
a. PULPEKTOMI
b. ENDOINTRAKANAL
4. APEKSIFIKASI
4.1.2.2. ENDO BEDAH
1. KURETASE APEKS
2. RESEKSI APEKS
3. INTENTIONAL REPLANT
4. HEMISEKSI
5. IMPLAN ENDODONTIK

4.1.2.3 Indikasi umum perawatan endodonsia :
1. Gigi dengan kelainan yang telah mengenai jaringan pulpa dan periapikal
2. Sebagai pencegahan untuk menghindari infeksi jaringan periapikal
3. Untuk rencana pembuatan mahkota pasak
4. Sebagai penyangga / abunment gigi tiruan
5. Kesehatan umum pasien baik
6. Oral hygiene pasien baik
7. Masih didukung jaringan penyangga gigi yang baik
8. Pasien bersedia untuk dilakukan perawatan
9. Operator mampu.

4.1.2.4. Kontraindikasi perawatan endodonsia :
1. Gigi yang tidak dapat direstorasi lagi
2. Tidak didukung jaringan penyangga gigi yang cukup
3. Gigi yang tidak strategis, tidak mempunyai nilai estetik dan fungsional. Misalnya gigi yang lokasinya jauh di luar lengkung.
4. Fraktur vertikal
5. Resorpsi yang luas baik internal maupun eksternal
6. Gigi dengan saluran akar yang tidak dapat dipreparasi; akar terlalu bengkok, saluran akar banyak dan berbelit-belit.
7. Jarak interoklusal terlalu pendek sehingga akan menyulitkan dalam instrumentasi.
8. Kesehatan umum pasien buruk
9. Pasien tidak bersedia untuk dilakukan perawatan
10. Operator tidak mampu.

4.1.3 Prosedur Perawatan Endodontik Konvensional
4.1.3.1 Pulp Capping
Langkah-langkah Pulp Capping :
1. Siapkan peralatan dan bahan.
2. Isolasi gigi.
3. Preparasi kavitas.
5. Ekskavasi karies yang dalam
6. Berikan kalsium hidroksida.

4.1.3.2 Pulpotomi
4.1.3.2.1 Pulpotomi vital
Langkah-langkah perawatan pulpotomi vital formokresol satu kali kunjungan untuk gigi sulung :
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Pemberian anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit saat perawatan
3. Isolasi gigi.
4. Preparasi kavitas.
5. Ekskavasi karies yang dalam.
6. Buang atap pulpa.
7. Buang pulpa bagian korona.
8. Cuci dan keringkan kamar pulpa.
9. Aplikasikan formokresol.
10. Berikan bahan antiseptik.
11. Restorasi gigi.

4.1.3.2.2 Pulpotomi Non-Vital
Langkah-langkah perawatan pulpotomi devital :
Kunjungan pertama:
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Preparasi kavitas.
4. Ekskavasi karies yang dalam.
5. Buang atap kamar pulpa dengan bor fisur steril dengan handpiece kecepatan rendah.
6. Buang pulpa di bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar.
7. Cuci dan keringkan pulpa dengan air atau saline steril, syringe disposible dan jarum steril.
8. Letakkan arsen atau euparal pada bagian terdalam dari kavitas.
9. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
10. Bila memakai arsen instruksikan pasien untuk kembali 1 sampai dengan 3 hari, sedangkan jika memakai euparal instruksikan pasien untuk kembali setelah 1 minggu
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Berikan bahan antiseptik.
4. Aplikasi semen zinc oxide eugenol.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.

4.1.3.3 Pulpektomi
4.1.3.3.1 Pulpektomi Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali kunjungan :
1. Pembuatan foto Rontgen.
2. Pemberian anestesi lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat perawatan.
3. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
4. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril.
5. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar kecepatan rendah.
6. Perdarahan yang terjadi setelah pembuangan jaringan pulpa dikendalikan dengan menekankan cotton pellet steril yang telah dibasahi larutan saline atau akuades selama 3 sampai dengan 5 menit.
7. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan dikeringkan dengan cotton pellet steril
8. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
9. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan jarum lentulo.
10. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian .
11. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng fosfat.
12. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.

4.1.3.3.2 Pulpektomi Non-Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi non vital :
Kunjungan pertama :
1. Lakukan foto rontgen.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Buang semua jaringan karies dengan ekskavator, selesaikan preparasi dan desinfeksi kavitas.
4. Buka atap kamar pulpa selebar mungkin.
5. Jaringan pulpa dibuang dengan ekskavator sampai muara saluran akar terlihat.
6. Irigasi kamar pulpa dengan air hangat untuk melarutkan dan membersihkan debris.
7. Letakkan cotton pellet yang dibasahi trikresol formalin pada kamar pulpa.
8. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
9. Instruksikan pasien untuk kembali 2 hari kemudian.
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Jaringan pulpa dari saluran akar di ekstirpasi, lakukan reaming, filling, dan irigasi.
4. Berikan Beechwood creosote.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
6. Instruksikan pasien untuk kembali 3 sampai dengan 4 hari kemudian.
Kunjungan ketiga :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Keringkan kamar pulpa, dengan cotton pellet yang berfungsi sebagai stopper masukkan pasta sambil ditekan dari saluran akar sampai apeks.
4. Letakkan semen zinc fosfat.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.

4.1.3.4 Endo Intrakanal
Langkah-langkah perawatan endo intrakanal :
1. Pembuatan foto Rontgen.
Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar gigi yang akan dirawat.
2. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
3. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
4. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar kecepatan rendah.
5. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
6. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
7. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan jarum lentulo.
8. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian.
9. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng fosfat.
10. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.

4.1.4 Teknik Perawatan Saluran Akar
Tahap-tahap perawatan endotektomi :
- Membuat foto untuk diagnose dan rencana perawatan
- Menyiapkan file, paper point
- Melakukan devitalisasi untuk gigi yang masih vital
- Untuk gigi non vital dilakukan pre sterilisasi
- Open bur, mengambil atap pulpa, mencari orifice : preparasi cavity entrance
- DWF ; tentukan panjang kerja
- Preparasi saluran akar dengan file, irigasi, foto preparasi : teknik konvensional, teknik step back, teknik crown down
- Sterilisasi memakai paper point, obat, kapas steril, tumpatan sementara. Sterilisasi ulang, sampai paper point kering dan tidak berbau
- Tes perbenihan
- Pengisian pasta Zn Oxide Eugenol : teknik single cone, teknik kondensasi lateral, teknik kondensasi vertikal
- Foto pengisian
- Basis Zn PO4
- Control 2 minggu kemudian, apabila tidak ada keluhan, dapat ditumpat tetap.

4.1.5 Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Perawatan Saluran Akar
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu perawatan saluran akar adalah faktor patologi, faktor penderita, faktor perawatan, faktor anatomi gigi dan faktor kecelakaan prosedural.
2. Macam-macam penyebab terjadinya kegagalan suatu perawatan saluran akar adalah kesalahan yang terjadi pada tahap praperawatan, kesalahan selama perawatan dan kegagalan pascaperawatan.
3. Tanda-tanda kegagalan perawatan saluran akar yang mudah ditentukan oleh dokter gigi adalah dengan cara pemeriksaan klinis dan radiologis, cara histologis jarang dilakukan.
4. Kegagalan perawatan saluran akar sebagian besar disebabkan oleh faktor kesalahan selama perawatan dan pengisian saluran akar yang tidak sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Bence, R. 1990. Buku Pedoman Endodontik Klinik, terjemahan Sundoro. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Cohen, S. and Burns, R.C. 1994. Pathway of the pulp. 6 th ed. St. Louis : Mosby.
Guttman, J.L. 1992. Problem Solving in Endodontics, Prevention, identification and management. 2 nd ed., St louis : mosby Year Book.
Grossman, L.I., Oliet, S. and Del Rio, C.E., 1988. Endodontics Practice. 11 th ed. Philadelphia : Lea & febiger.
Harty. FJ. alih bahasa Lilian Yuono. 1992. Endodontik Klinis. Jakarta : Hipokrates.
Ingle, J.L. & Bakland, L.K. 1985. Endodontics. 3 rd ed. Philadelphia : Lea & Febiger.
Mardewi, S. K.S.A. 2003. Endodontologi, Kumpulan naskah. Cetakan I. Jakarta : Hafizh.
Tarigan, R. 1994. Perawatan Pulpa Gigi (endodonti). Cetakan I, Jakarta : Widya Medika.
Walton, R. and Torabinejad, M., 1996. Principles and Practice of Endodontics. 2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders Co.
Weine, F.S. 1996. Endodontics Theraphy. 5 th ed. St. Louis : Mosby Year Book. Inc

Epidemiologi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya. Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinan-determinan penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi penyakit tersebut.
Di dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen, yakni :
a. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit non infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi), kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
b. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakit-penyakit individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan lingkungan manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
Di dalam epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu direnungkan yakni :
1. Siapa (who), siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu atau orang
yang terkena penyakit.
2. Di mana (where), di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
3. Kapan (when), kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan ini adalah merupakan faktor-faktor yang menentukan terjadinya suatu penyakit. Dengan perkataan lain terjadinya atau penyebaran suatu penyakit ditentukan oleh 3 faktor utama yakni orang, tempat dan waktu.
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program Kesehatan dan Keluarga Berencana adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan bahwa dalam melihat suatu masalah KB-Kes selalu mempertanyakan siapa yang terkena masalah, di mana dan bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran masalah tersebut terjadi.
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan dengan masalah, di mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah serta bilaman masalah tersebut terjadi. Kegunaan lain dari epidemiologi khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran epidemiologi seperti prevalensi, point of prevalence dan sebagainya dapat digunakan dalam perhitungan-perhitungan : prevalensi, kasus baru, case fatality rate dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang field control trial, community control trial, dan randomized trial serta cara penarikan kesimpulan pada epidemiologi eksperimental!
2. Bagaimana analisis skenario berdasarkan klasifikasi epdemiologi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang field control trial, community control trial, dan randomized trial serta cara penarikan kesimpulan pada epidemiologi eksperimental.
2. Untuk mengetahui analisis skenario berdasarkan klasifikasi epdemiologi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Epidemilogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu (Epi = pada, Demos = penduduk, logos = ilmu), dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat.

2. Definisi
Banyak definisi tentang Epidemiologi, beberapa diantaranya :
a. W.H. Welch
Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit, terutama penyakit infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.
b. Mausner dan Kramer
Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada populasi manusia.
c. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk menanggulangi masalah kesehatan.
d. Mac Mahon dan Pugh
Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit dan faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia.
e. Omran
Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan akibat-akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.
f. W.H. Frost
Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.
g. Azrul Azwar
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada dalam epidemiologi, sebagai berikut :
1) Frekuensi masalah kesehatan
2) Penyebaran masalah kesehatan
3) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan.

3. Peranan
Dari kemampuan epidemiologi untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor penyebab masalah kesehatan dan mengarahkan intervensi yang diperlukan maka epidemiologi diharapkan mempunyai peranan dalam bidang kesehatan masyarakat berupa :
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya penyakit atau masalah kesehatan dalam masyarakat. Untuk kepentingan diagnosis, yaitu untuk menyusun diagnosis komunitas atau diagnosis kelompok.
b. Menyediakan data yang diperlukan untuk perencanaan kesehatan dan mengambil keputusan.
c. Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah dilakukan, sebagai sarana untuk menilai suatu tindakan pelayanan kesehatan masyarakat tertentu
d. Mengembangkan metodologi untuk menganalisis keadaan suatu penyakit dalam upaya untuk mengatasi atau menanggulanginya. Untuk kepentingan penelusuran patogenesis penyakit, yaitu mempelajari aspek etiologi dan perkembangan masyarakat.
e. Mengarahkan intervensi yang diperlukan untuk menanggulangi masalah yang perlu dipecahkan.

4. Ruang lingkup
a. Masalah kesehatan sebagai subjek dan objek epidemiologi
Epidemiologi tidak hanya sekedar mempelajari masalah-masalah penyakit-penyakit saja, tetapi juga mencakup masalah kesehatan yang sangat luas ditemukan di masyarakat. Diantaranya masalah keluarga berencana, masalah kesehatan lingkungan, pengadaan tenaga kesehatan, pengadaan sarana kesehatan dan sebagainya. Dengan demikian, subjek dan objek epidemiologi berkaitan dengan masalah kesehatan secara keseluruhan.
b. Masalah kesehatan pada sekelompok manusia
Pekerjaan epidemiologi dalam mempelajari masalah kesehatan, akan memanfaatkan data dari hasil pengkajian terhadap sekelompok manusia, apakah itu menyangkut masalah penyakit, keluarga berencana atau kesehatan lingkungan. Setelah dianalisis dan diketahui penyebabnya dilakukan upaya-upaya penanggulangan sebagai tindak lanjutnya.
c. Pemanfaatan data tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan dalam merumuskan penyebab timbulnya suatu masalah kesehatan.
Pekerjaan epidemiologi akan dapat mengetahui banyak hal tentang masalah kesehatan dan penyebab dari masalah tersebut dengan cara menganalisis data tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan yang terjadi pada sekelompok manusia atau masyarakat. Dengan memanfaatkan perbedaan yang kemudian dilakukan uji statistik, maka dapat dirumuskan penyebab timbulnya masalah kesehatan.
Ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran penyakit pada sekelompok manusia serta faktor penyebabnya melalui suatu pendekatan yang berpola dan berstruktur yang dikenal dengan pendekatan epidemiologi.
Pendekatan epidemiologi adalah pola pendekatan yang mengandung rangkaian kegiatan untuk mendapatkan keterangan tentang besarnya masalah kesehatan, upaya pengumpulan, pengelolaan, penyajian dan interpretasi data.
Penelitian epidemiologi adalah jenis penelitian yang mengkaji problema kesehatan dengan pendekatan komunitas. Dengan penelitian epidemiologi dapat diungkap kejadian, distribusi dan determinan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu dalam masyarakat, dan faktor-faktor yang berperan.

5. Bagan Epidemiologi




6. Penelitian Epidemiologi
Menurut sejarah perkembangan, epidemiologi dibedakan atas :
1. Epidemiologi klasik : terutama mempelajari tentang penyakit menular wabah serta terjadinya penyakit menurut konsep epidemiologi klasik.
Epidemiologi klasik terutama mempelajari tentang penyakit menular wabah serta terjadinya penyakit menurut konsep epidemiologi klasik. Wabah merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit dalam masyarakat dengan jumlah penderita meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.
Wade Hampton Frost (1972), mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu pengetahuan tentang fenomena missal penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah penyakit menular. Di sini tampak bahwa pada waktu itu penekanan perhatian epidemiologi hanya ditujukan kepada masalah penyakit infeksi yang mengenai masyarakat.
Greenwood (1934), mengemukakan batasan epidemiologi yang lebih luas di mana dikatakan bahwa epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian yang mengenai kelompok penduduk. Pengertian ini yang kemudian menjadi dasar berkembangnya epidemiologi klasik yang disempurnakan ke dalam cakupan yang lebih luas lagi pada epidemiologi modern.

2. Epidemiologi modern merupakan sekumpulan konsep yang digunakan dalam studi epidemiologi yang terutama bersifat analitik, selain untuk penyakit menular wabah dapat diterapkan juga untuk penyakit menular bukan wabah, penyakit tidak menular serta masalah-masalah kesehatan lainnya.
Menurut bidang penerapannya, epidemiologi modern dibagi atas:
a. Epidemiologi lapangan
b. Epidemiologi komunitas
c. Epidemiologi klinik
Ruang lingkup epidemiologi lapangan & komunitas :
FENOMENA
• Status kesehatan & fisiologi
• Penyakit & kematian
• Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
• Determinan dari masing-masing tersebut diatas
• Program intervensi dari masing-masing tersebut diatas
PENDUDUK
• Karakteristik kelompok, misal: usia, jenis kelamin, dan kebudayaan
• Karateristik perilaku
• Faktor-faktor resiko dalam kelompok penduduk
• Keadaan lingkungan
Ruang lingkup epidemiologi klinik
PERISTIWA
• Populasi beresiko
• Faktor resiko (rokok <--> usia)
• Awitan penyakit
• Diagnosis: gejala dan tanda, foto Ro toraks, sitologi sputum, biopsi
• Terapi
• Hasil akhir (kematian, penyakit, kesembuhan)



Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut :
1. Epidemiologi deskriptif, yaitu suatu penelitian yang tujuan utamanya melakukan eksplorasi diskriptif terhadap fenomena kesehatam masyarakat yang berupa risiko ataupun efek.
Epidemiologi deskriptif adalah cabang epidemiologi yang mempelajari tentang kejadian dan distribusi penyakit. Distribusi penyakit dikelompokkan menurut faktor orang (who), tempat (where), dan waktu (when).
Karakteristik orang dapat dibedakan lagi menjadi faktor usia, jenis kelamin, golongan etnik, status perkawinan, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan agama. Tujuan dari epidemiologi deskriptif ialah untuk menggambarkan distribusi keadaan masalah kesehatan sehingga dapat diduga kelompok mana di masyarakat yang paling banyak terserang. Faktor usia merupakan variable yang harus diperhitungkan dalam studi epidemiologi. Faktor usia berhubungan dengan rasio morbiditas dan rasio mortalitas dari suatu populasi. Hubungan faktor usia dengan mortalitas secara umum dapat dikatakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor penyebab penyakit, pengalaman terpapar penyakit, pekerjaan, kebiasaan hidup, dan adanya perubahan dalam kekebalan tubuh. Sedangkan hubungan faktor usia dengan morbiditas terletak pada frekuensi penyakit, dan berat-ringannya suatu penyakit. Selain berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas suatu penyakit, faktor usia juga berhubungan dengan tipe, kegawatan, dan bentuk klinis dari suatu penyakit.
Faktor jenis kelamin dapat mempengaruhi distribusi masalah kesehatan. Beberapa penyakit dilihat dari frekuensinya dapat berbeda antara pria dan wanita. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika, dan kondisi fisiologis. Contoh penyakit yang hanya menyerang wanita : karsinoma uterus, karsinoma mamae, karsinoma serviks, kista ovarii, dan adneksitis. Contoh penyakit yang hanya menyerang pria : karsinoma penis, orsitis, hipertrofi prostat, dan karsinoma prostat.
Faktor golongan etnik adalah sekelompok manusia dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan hidup atau sifat biologis dan genetis yang sama. Golongan etnik dibedakan atas ras, dan etnik atau suku bangsa. Pengelompokan menurut ras lebih didasarkan pada warna kulit dan bentuk tubuh. Dikenal 3 ras utama, yakni caucasoid, negroid, dan mongoloid. Adanya penyakit tertentu yang secara genetik berhubungan dengan ras yaitu sicle cell anemia. Sedangkan pengelompokan dalam suku bangsa (etnik) didasarkan pada tempat tinggal, adat istiadat, kebiasaan hidup, keadaan sosial ekonomi, maupun susunan makanannya. Timbulnya perbedaan frekuensi penyakit atau kematian mungkin disebabkan oleh hal-hal tersebut. Contohnya adalah perbedaan pengalaman penyakit malaria ataupun filaria bagi penduduk Jawa dan Irian Jaya.

2. Epidemiologi analitik yaitu penelitian ini mencoba untuk menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan dapat terjadi yaitu dengan melakukan analisis hubungan antar fenomena, baik antara faktor risiko dengan efek, antar faktor risiko, maupun antar efek, terdiri dari :
a. Non eksperimental (Observasi) adalah suatu penelitian dimana pengamatan terhadap fenomena kesehatan dilakukan dalam keadaan apa adanya tanpa intervensi peneliti.
1) Studi kohort / follow up / incidence / longitudinal / prospektif studi. Kohort diartikan sebagai sekelompok orang. Tujuan studi mencari akibat (penyakitnya).
Pada penelitian kohort dilakukan perbandingan antara kelompok terpapar dengan kelompok tidak terpapar kemudian dilihat akibat yang ditimbulkannya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan waktu secara longitudinal, atau “period time approach”. Karena faktor risiko diidentifikasi lebih dulu dan yang ingin dilihat adalah efeknya, maka penelitian ini desebut penelitian prospektif, yaitu melihat kedepan kejadian yang berhubungan dengan kesakitan.
Penelitian diawali dengan kelompok yang terpapar faktor resiko dan kelompok yang tak terpapar faktor resiko selanjutnya diikuti dalam jangka waktu yang ditentukan kemudian dievaluasi timbulnya penyakit atau tidak timbul penyakit pada kedua kelompok. Penelitian ini disebut juga “incidence study“ karena dengan penelitian ini diperoleh insiden suatu penyakit (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kohort, juga biasa disebut follow up atau studi insidens, bermula dari sejumlah kelompok orang (kohort) yang bebas dari penyakit, yang diklasifikasikan ke dalam subgrup berdasarkan tingkat pajanan kepada kejadian potensial penyakit atau outcome. Kelompok-kelompok studi dengan karakteristik tertentu yang sama (yaitu pada awalnya bebas dari penyakit) tetapi memiliki tingkat keterpaparan yang berbeda, dan kemudian dibandingkan insidensi penyakit yang dialaminya selama periode waktu, disebut kohort. Ciri-ciri lainnya dari studi kohort adalah dimungkinkannya penghitungan laju insidensi dari masing-masing kelompok studi (Kuntoro, H. 2006.).
Ada beberapa kelebihan dalam studi kohort. Pertama, studi kohort dilakukan sesuai dengan logika eksperimental dalam membuat inferensi kausal, yaitu penelitian dimulai dengan menentukan faktor penyebab (anteseden) diikuti dengan akibat (konsekuen). Kedua, peneliti dapat menghitung laju insidensi. Ketiga, studi kohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka (misalnya faktor-faktor lingkungan). Keempat, studi kohort memungkinkan peneliti mempelajari sejumlah efek serentak dari sebuah paparan. Kelima, pada studi kohort prospektif, kemungkinan terjadi bias dalam menyeleksi subjek dan menentukan status paparan adalah kecil, sebab penyakit yang diteliti belum terjadi. Keenam, karena bersifat observasional, maka tidak ada subjek yang sengaja dirugikan karena tidak mendapatkan terapi yang bermanfaat (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kohort juga memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan utama, rancangan studi kohort prospektif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada studi kasus kontrol atau studi kohort retrospektif. Kedua, tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang langka, kecuali jika ukuran besar atau prevalensi penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi. Ketiga, subjek dapat saja hilang atau pergi selama penelitian. Keempat, karena faktor penelitian sudah ditentukan terlebih dahulu pada awal penelitian, maka studi kohort tidak cocok untuk merumuskan hipotesis tentang faktor-faktor etiologi lainnya untuk penyakit itu, tatkala penelitian terlanjur berlangsung (Kuntoro, H. 2006.).
2) Studi kasus control / case control study / studi retrospektif. Tujuannya mencari faktor penyebab penyakit.
Pada penelitian kasus kontrol dilakukan perbandingan antara kelompok populasi yang menderita penyakit dengan yang tidak menderita penyakit kemudian dicari faktor penyebabnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan waktu secara longitudinal, atau “period time approach”. Karena yang diketahui adalah efek dan yang ingin dilihat adalah faktor risiko maka sifat penelitian ini disebut penelitian retrospektif yaitu melihat kembali kebelakang kejadian yang berhubungan dengan kesakitan.
Penelitian diawali dengan penentuan kelompok “disease” dan kelompok “non disease“. Selanjutnya di lacak kemungkinan adanya faktor resiko di masa lampau yang ada kaitannya dengan timbulnya “disease“ yang dipelajari. Dalam melacak adanya faktor resiko tentunya ada kelemahannya yaitu bias karena individu diminta untuk mengingat tentang apa yang pernah dialaminya dalam terpapar faktor resiko di masa lampau. Bias tersebut dikenal dengan “recall bias“. Peluang bias lebih besar pada kelompok “non disease” dibandingkan kelompok “disease” (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol mengikuti paradigma yang menelusuri dari efek ke penyebab. Di dalam studi kasus kontrol, individual dengan kondisi khusus atau berpenyakit (kasus) dipilih untuk dibandingkan dengan sejumlah indivual yang tak memiliki penyakit (kontrol). Kasus dan kontrol dibandingkan dalam hal sesuatu yang telah ada atau atribut masa lalu atau pajanan menjadi sesuatu yang relevan dengan perkembangan atau kondisi penyakit yang sedang dipelajari (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol merupakan salah satu rancangan riset epidemiologi yang paling popular belakangan ini karena kekuatan yang dimilikinya. Kelebihan studi kasus kontrol anatara lain, relatif murah, relatif cepat, hanya membutuhkan perbandingan subjek yang sedikit, tak menciptakan subjek yang berisiko, cocok untuk studi dari penyakit yang aneh ataupun penyakit yang memiliki periode laten lama, dan sebagainya (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah studi kasus kontrol memiliki metodologi kausal yang bertentangan dengan logika eksperimen klasik. Logika “normal” penelitian hubungan kausal paparan dan penyakit lazimnya diawali dengan identifikasi paparan (sebagai penyebab) kemudian diikuti selama periode tertentu untuk melihat perkembangan penyakit (sebagai akibat). Studi kasus kontrol melakukan hal yang sebalikanya : melihat akibatnya dulu, baru menyelidiki apa penyebabnya. Kelemahan-kelemahan yang lain adalah studi kasus kontrol tidak efisien untuk mempelajari paparan-paparan yang langka, peneliti tak dapat menghitung laju insidensi penyakit baik populasi yang terpapar maupun yang tak terpapar karena subjeknya dipilih berdasarkan status penyakit, tidak mudah untuk memastikan hubungan temporal antara paparan dan penyakit (Kuntoro, H. 2006.).
3) Studi Cross Sectional Study / studi potong lintang / studi prevalensi atau survey yaitu merupakan penelitian untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan pendekatan atau observasi sekaligus pada suatu waktu tertentu. Disebut juga penelitian transversal karena model yang digunakan adalah “Point time Approach”. Pendekatan suatu saat bukan dimaksudkan semua subyek diamati pada saat yang sama melainkan tiap subyek hanya diamati satu kali saja dan pengukuran dilakukan terhadap suatu karakter atau variabel pada saat pemeriksaan.
Penelitian ini disebut juga “prevalence study” karena dari penelitian ini diperoleh prevalensi suatu penyakit. Penelitian ini disebut juga “correlational study“ karena bisa digunakan untuk mengukur kuatnya hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Dikatakan “cross-sectional study“ karena faktor resiko dan penyakit diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hubungan sebab akibat (Kuntoro, H. 2006.).
Cross-sectional studi ini adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau satu periode. Tujuan studi ini adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-dterminannya pada populasi sasaran (Kuntoro, H. 2006.).
Kelebihan studi belah lintang ialah mudah untuk dilakukan dan murah, sebab tidak memerlukan follow-up. Jika tujuan penelitian sekadar mendeskripsikan distribusi penyakit dihubungkan dengan faktor-faktor penelitian, maka studi potong lintang adalah rancangan studi yang cocok, efisien, dan cukup kuat di segi metodologik. Selain itu, studi belah-lintang tak memaksa subjek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan “faktor resiko” (Kuntoro, H. 2006.).
Kelemahan studi belah-lintang adalah tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal paparan dan penyakit. Hal ini disebabkan karena validitas penilaian hubungan kausal yang menuntut sekuensi waktu yang jelas antara paparan dan penyakit (yaitu, paparan harus mendahului penyakit) sulit untuk dipenuhi pada studi ini (Kuntoro, H. 2006.).

b. Eksperimental atau penelitian intervensi adalah penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap masyarakat. Peneliti memberikan perlakuan atau manipulasi pada masyarakat, kemudian efek perlakuan tersebut diobservasi, baik secara individual maupun kelompok. Penelitian dapat melakukan manipulasi / mengontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan dinyatakan sebagai tes yang paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta tes yang berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk menjawab pertanyaan masalah ilmiah lainnya.
1) Randomized Control Trial
Randomized control trial (atau randomized clinical trial) adalah sebuah eksperimen epidemiologi yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut perawatan dan kelompok kontrol, dan hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua atau lebih kelompok. Hasil yang diinginkan dapat saja berbeda tetapi, mungkin saja perkembangan penyakit baru atau sembuh dari penyakit yang telah ada.
Kita dapat memulainya dari menentukan populasi dengan acak untuk mendapatkan perawatan baru atau perawatan yang telah ada, dan kita mengikuti subjek dalam setiap grup untuk mengetahui seberapa banyak subjek yang mendapatkan perawatan baru berkembang dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada. Jika perawatan menghasilkan outcome yang lebih baik, kita dapat berharap untuk mendapatkan outcome yang lebih baik pada subjek dengan perawatan baru dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada.
Randomized trial dapat dipakai untuk berbagai macam tujuan. Cara ini dipakai untuk mengevaluasi obat-obatan baru dan perawatan lain tentang penyakit, termasuk test teknologi kesehatan dan perawatan medis yang baru. Juga bisa digunakan untuk memperkirakan program yang baru untuk skrining dan deteksi dini, atau cara baru mengatur dan mengantarkan jasa kesehatan.
2) Field Trial / Eksperimen Lapangan
Ekperimen lapangan adalah jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu yang belum sakit sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan memilih subyek-subyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak. Berbeda dengan studi kohort, peneliti menentukan dengan sengaja alokasi faktor penelitian kepada kelompok-kelompok studi.
Subyek yang terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian dibandingkan, untuk menilai pengaruh perlakuan. Jika laju kejadian penyakit dalam populasi rendah, maka eksperimen lapangan membutuhkan jumlah subjek yang sangat besar pula. Pada ekperimen lapangan kerap kali peneliti harus mengunjungi subyek penelitian di “lapangan”. Peneliti dapat juga mendirikan pusat penelitian di mana dilakukan pengamatan dan pengumpulan informasi yang dibutuhkan dengan biaya yang ekstra.
3) Community Trial / Intervensi Komunitas
Intervensi komunitas adalah studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada individu-individu. Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak praktis dilakukan kepada individu.
Contoh intervensi ini adalah riset tentang efektivitas flurodasi air minum untuk mencegah karies pada masyarakat. Riset Newburgh-Kingston (Ast et al., 1950) memberikan natrium florida pada tempat-tempat penyediaan air minum yang dikonsumsi oleh komunitas (Newburgh). Komunitas lainnya (Kingston) menerima air minum seperti sebelumnya (tanpa suplementasi fuor). Eksperimen ini memperlihatkan kemaknaan pengaruh floridasi, baik secara statistik maupun klinik, dalam mengurangi kerusakan, kehilangan, dan pergerakan gigi masyarakat.

Perbedaan Penelitian Deskriptif dan Penelitian Analitik
Penelitian Epidemiologi Diskriptif
 Hanya menjelaskan keadaan suatu masalah kesehatan (who, where, when)
 Pengumpulan, pengolahan, penyajian dan interpretasi data hanya pada suatu kelompok masyarakat saja
 Tidak bermaksud membuktikan suatu hipotesa
Penelitian Epidemiologi Analitik
 Juga menjelaskan mengapa suatu masalah kesehatan timbul di masyarakat (why)
 Pengumpulan, pengolahan, penyajian dan interpretasi data dilakukan terhadap dua kelompok masyarakat
 Bermaksud membuktikan suatu hipotesa


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Epidemiologi Eksperimental
Epidemiologi Eksperimental atau penelitian intervensi adalah penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap masyarakat. Peneliti memberikan perlakuan atau manipulasi pada masyarakat, kemudian efek perlakuan tersebut diobservasi, baik secara individual maupun kelompok. Penelitian dapat melakukan manipulasi / mengontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan dinyatakan sebagai tes yang paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta tes yang berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk menjawab pertanyaan masalah ilmiah lainnya.
1) Randomized Control Trial
Randomized control trial (atau randomized clinical trial) adalah sebuah eksperimen eoidemiologi yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut perawatan dan kelompok kontrol, dan hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua atau lebih kelompok. Hasil yang diinginkan dapat saja berbeda tetapi, mungkin saja perkembangan penyakit baru atau sembuh dari penyakit yang telah ada.
Kita dapat memulainya dari menentukan populasi dengan acak untuk mendapatkan perawatan baru atau perawatan yang telah ada, dan kita mengikuti subjek dalam setiap grup untuk mengetahui seberapa banyak subjek yang mendapatkan perawatan baru berkembang dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada. Jika perawatan menghasilkan outcome yang lebih baik, kita dapat berharap untuk mendapatkan outcome yang lebih baik pada subjek dengan perawatan baru dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada.
2) Field Trial / Eksperimen Lapangan
Ekperimen lapangan adalah jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu yang belum sakit sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan memilih subyek-subyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak. Berbeda dengan studi kohort, peneliti menentukan dengan sengaja alokasi faktor penelitian kepada kelompok-kelompok studi.
Subyek yang terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian dibandingkan, untuk menilai pengaruh perlakuan. Jika laju kejadian penyakit dalam populasi rendah, maka eksperimen lapangan membutuhkan jumlah subjek yang sangat besar pula. Pada ekperimen lapangan kerap kali peneliti harus mengunjungi subyek penelitian di “lapangan”. Peneliti dapat juga mendirikan pusat penelitian di mana dilakukan pengamatan dan pengumpulan informasi yang dibutuhkan dengan biaya yang ekstra.
3) Community Trial / Intervensi Komunitas
Intervensi komunitas adalah studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada individu-individu. Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak praktis dilakukan kepada individu. Contoh intervensi ini adalah riset tentang efektivitas flurodasi air minum untuk mencegah karies pada masyarakat. Riset Newburgh-Kingston (Ast et al., 1950) memberikan natrium florida pada tempat-tempat penyediaan air minum yang dikonsumsi oleh komunitas (Newburgh). Komunitas lainnya (Kingston) menerima air minum seperti sebelumnya (tanpa suplementasi fuor). Eksperimen ini memperlihatkan kemaknaan pengaruh floridasi, baik secara statistik maupun klinik, dalam mengurangi kerusakan, kehilangan, dan pergerakan gigi masyarakat.

3.2 Analisis Skenario berdasarkan Klasifikasi Epidemiologi
Pada dasarnya studi epidemiologi dapat dilakukan apabila terdapat masalah yang terjadi. Keseluruhan uji dapat dapat dilakukan dan digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat, baik masalah yang mengenai masalah kesehatan dalam kependudukan ataupun fenomena yang terjadi disekitarnya.
Pada skenario, digunakan metode epidemiologi modern, dimana lingkup yang menjadi pokok bahasan adalah kasus karies gigi yang terjadi pada daerah Argosari dengan unit terapan berupa populasi masyarakat Argosari yang bekerja sebagai buruh pabrik kakao yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Metode investigasi yang dilakukan oleh dr. Elok pertama adalah epidemiologi deskriptif dimana pada epidemiologi deskriptif tersebut dapat dipelajari peristiwa dan distribusi serta frekuensi dari peristiwa yang akan diteliti. Epidemiologi deskriptif umumnya dilaksanakan jika tersedia sedikit informasi yang diketahui mengenai kejadian, riwayat alamiah dan faktor yang berhubungan dengan penyakit.

1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia / masyarakat. Untuk dapat mengetahui frekuensi suatu masalah kesehatan dengan tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu :
a. Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.
b. Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.

2. Distribusi ( Penyebaran ) masalah kesehatan.
Yang dimaksud dengan penyebaran / distribusi masalah kesehatan disini adalah menunjuk kepada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam epidemiologi adalah :
a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN )
b. Menurut Tempat ( PLACE )
c. Menurut Waktu ( TIME )

Setelah melakukan studi epidemiologi deskriptif, drg. Elok melakukan studi epidemiologi analitik.

1. Determinan ( Faktor – faktor yang mempengaruhi )
Yang dimaksud disini adalah menunjuk kepada factor penyebab dari suatu penyakit / masalah kesehatan baik yang menjelaskan frekuensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu :
a. Merumuskan hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.
b. Melakukan pengujian terhadap rumusan hipotesa yang telah disusun.
c. Menarik kesimpulan.

Epidemologi Analitik adalah riset epidemiologi yang bertujuan :
1. Menjelaskan faktor-faktor resiko dan kausa penyakit.
2. Memprediksikan kejadian penyakit
3. Memberikan saran strategi intervensi yang efektif untuk pengendalian penyakit.

Berdasarkan peran epidemiologi analalitik dibagi 2 :
• Studi Observasional : Studi Kasus Control (case control), studi potong lintang (cross sectional) dan Studi Kohort.
• Studi Eksperimental : Eksperimen dengan kontrol random (Randomized Controlled Trial /RCT) dan Eksperimen Semu (kuasi), field control, community trial.


BAB IV
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
1. Epidemiologi Eksperimental
1) Randomized Control Trial
Merupakan sebuah eksperimen epidemiologi yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut perawatan dan kelompok kontrol, dan hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua atau lebih kelompok.
2) Field Trial
Merupakan jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu yang belum sakit sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan memilih subyek-subyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak. Subyek yang terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian dibandingkan, untuk menilai pengaruh perlakuan.
3) Community Trial
Merupakan studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada individu-individu. Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak praktis dilakukan kepada individu.

2. Analisis skenario berdasarkan klasifikasi epidemiologi
Pada skenario, digunakan metode epidemiologi modern, dimana lingkup yang menjadi pokok bahasan adalah kasus karies gigi yang terjadi pada daerah Argosari dengan unit terapan berupa populasi masyarakat Argosari yang bekerja sebagai buruh pabrik kakao yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Metode investigasi yang dilakukan oleh dr. Elok pertama adalah epidemiologi deskriptif dimana pada epidemiologi deskriptif tersebut dapat dipelajari peristiwa dan distribusi serta frekuensi dari peristiwa yang akan diteliti. Setelah melakukan studi epidemiologi deskriptif, drg. Elok melakukan studi epidemiologi analitik.

DAFTAR PUSTAKA

Beaglehole, R., R. Bonita, T. Kjellstrom. Basic Epidemiology. Geneva : World Health Organization. 1993.
Budiarto, Eko. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.
Bustan, M. N., A. Arsunan. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta. 1997.
Chandra, Budiman. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : EGC. 1996.
Gordis, Leon. Epidemiology Third Edition. Philadelpia: Elsevier Saunders, 2004.
Kuntoro, H. Jurnal Konsep Desain Penelitian. Surabaya: Guru Besar Ilmu Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2006.
Murti, Bhisma. Prisnsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.
Notoatmodjo, Soekidjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
Schlesselman, James J. Case-Control Studies. New York : Oxford University Press. 1982.
Wahiduddin. Epidemiologi. FKM UNHAS. February 21, 2009. http://www.unhas.ac.id/ (accessed November 13 , 2009).